Posted by : Unknown
March 29, 2016
Cerpen yang saya tulis saat kelas dua SMA ini mendapat respon negatif dari teman-teman kelas, karena cerita yang memang mungkin lebay >.< Tapi dari situ saya tau, bahwa menulis bukan untuk malu-maluan, tapi untuk meluapkan isi hati ke dalam kata, dst
Cinta Pertamaku Ada di Cirebon
Banyak orang yang bilang, bahwa
cinta pertama adalah cinta monyet, cinta pertama belum tentu pacar pertama, dan
cinta pertama adalah awal dari cinta-cinta selanjutnya. tetapi aku punya pendapat
yang berbeda, bahwa cinta pertama adalah pengalaman yang tak terlupakan. baik
itu pengalaman buruk, maupun pengalaman baik.
“Perkenalkan, namaku Ayu Saraswati,
senang berkenalan.”
“Ya, silahkan Ayu duduk di sebelah
Aisyah.”
Perkenalan seperti ini sudah menjadi
makanan setiap tahunku karena Ayahku adalah seorang Peneliti Budaya. Peneliti
Budaya adalah seorang ilmwan yang meneliti suatu kebudayaan dari suatu daerah,
meski profesi ini sangan jarang tetapi Ayahku sengat menikmatinya.
Aku seperti tokoh dalam drama-drama
yang setiap tahun berpindah-pindah tempat tinggal karena pekerjaan orang
tuanya. awalnya aku mengeluh karena kecewa dengan pekerjaan Ayahku ini tapi
setelah aku mulai dewasa aku merasa ini adalah pekerjaan yang penting untuk
Ayahku dan aku pun bisa lebih belajar dari profesinnya ini. di tambah lagi aku
jadi memeliki banyak teman kerena profesi beliau. dan juga aku menemukan cinta
pertamaku disini, di Cirebon.
“Hai, namaku Aisyah, lengkapnya
Aisyah Subandono” tangannya menjabat tanganku dengan ramah.
“Hai Aisyah, namaku Ayu. namamu
mirip artis yah.” aku sambut keramahannya dengan senyuman.
“Ah, bisa saja.” mukannya yang terbalut jilbab sangatlah
menawan, meski dia masih SMP kelas 2 tapi tercermin kedewasaan yang sungguh
besar.
“Ayo anak-anak buka bukunya halaman
10, kita pelajari tentang Pertumbuhan dan Perkembangan.”
Keseharianku sebagai murid pindahan
pun dimulai. di jam istirahat aku banyak di ajari oleh Aisyah dan teman-temanku
yang baru, tentang sekolah ini dan lingkungan di Cirebon ini.
Aku di beritahu Aisyah jika ingin
mengetahui informasi atau budaya Cirebon Tanya saja pada anak laki-laki yang
bernama Dody. aku segera mendatangi anak
laki-laki yang bernama Dody itu, tidak sulit mencarinya karena dia juga sekelas
denganku.
“Hai, namaku Ayu, kamu Dody kan”
“Oh, hai. iya aku Dody, ada perlu
apa?”
Dia laki-laki yang duduk di sebelah
jendela, badannya tidak terlalu kurus dan agak tinggi, sorot matannya memperlihatkan bahwa dia dingin kepada orang
lain, dan malas untuk berbasa-basi.
“Aku dengar kamu bisa memberitahuku
lebih banyak tentang informasi dan budaya kota ini.” aku segera duduk di
sampingnya agar nyaman untuk mengobrol.
“Kamu salah.” dia menyenderkan
bahunya pada dinding dekat jendela dan menatapku dingin.
“Eh? aku salah informasi yah? ah
yaudah maaf dod,”
“Bukan itu maksudku. disini bukan
kota. disini adalah kabupaten. tepatnya kabupaten Cirebon. jika yang kamu
maksud kota Cirebon, kamu harus lebih kearah timur lagi.”
Sudah kuduga orang macam ini memang
menyebalkan, memang hampir di setiap
kelas yang aku huni semalama ini mesti ada saja orang seperti ini, dan ini
spesies manusia yang menyebalkan.
“Ya itu maksudku, tolong beritahu
aku tentang kabupaten Cirebon dan kota Cirebonnya juga. aku ingin tahu banyak
hal tentang tempat ini dan teman-teman yang lain bilang kamulah orang yang tau
banyak tentang tempat ini.”
“Ya baiklah. begini..”
Dody menjelaskanku secara umum saja
tentang tempat yang bernama Cirebon ini, dan dia bilang bahwa nama Cirebon ini
dari kata Cai yang berarti Air dan Rebon yang berarti Udang kecil. Jadi
Cirebon berarti Air yang memiliki banyak Udang yang kecil-kecil.
Aku berfikir bagus jika Dody ini aku
kenalkan kepada Ayahku untuk mempermudah penelitiannya tentang budaya Cirebon
ini. dan akhirnya di suatu minggu Dody datang kerumahku. dia kuminta untuk
membantu Ayahku meneliti kebudayaan tempat ini. tentu saja dengan bayaran yang
setimpal.
Dody adalah laki-laki yang keras
kepala dan dia agak matrialistis, dia meminta bayaran selayaknya narasumber alhi
untuk setiap informasinnya. Ya aku akui dia memang bisa diandalkan dalam hal
ini, dan memudahkan penelitian Ayahku.
“Namaku Dody Pratama, senang
berkenalan dengan bapak.”
“Ini toh Dody itu, nama bapak Toto
Rianto, senang berkenalan dengan nak Dody.”
Dody sangat ramah dan lembut kepada
siapa saja jika keperluannya ini ada imbalannya, dia bilang bahwa melakukan hal
yang paling berguna adalah menghasilkan uang.
Setiap akhir pekan Dody kerumahku
berbincang-bincang dengan Ayahku, terkadang mereka pergi kesuatu tempat dan
jika ada kesempatan aku pun ikut bersama mereka. di sana kami hanya berkunjung
kesuatu tempat dan mencoba berbagai makanan khas Cirebon.
Salah satu makanan khas Cirebon yang
aku suka adalah Docang. Dody menjelaskan bahwa docang itu singkatan dari kacang
dibodo. Dibodo adalah
dibacem atau tempe bungkil.
“Docang terbuat dari lontong yang
diiris-iris kecil, ditaburi parutan kelapa muda, irisan daun singkong dicampur
dengan toge yang telah direbus. Kemudian disiram kuah panas yang berisi dage” Jelas
Dody sambil membagi piring-piring yang berisi docang.
“Nak Dody, dage itu apa?” Tanya Ayahku dengan heran.
“Dage
itu sejenis oncom yang dihancurkan,” Jelasnya sambil mengambil sesendok kuah
docang. “Dan sehingga mengapung di bagian atas kuah.”
“Oh yang ini toh.” Ayahku mulai
memakan docangnya.
“Bagaimana pak, apakah makanan ini
enak?” Tanya Dody.
“Ini enak sekali nak Dody, rasanya
segar, mungkin karena banyak sayurannya. makanan ini sepertinnya aman di
konsumsi untuk orang seperti bapak yang punya penyakit koresterol.” jawab
Ayahku sambil tersenyum.
“Benar pak, ini aman bagi penderita
koresterol.” kemudia Dody melirik kearahku. “Ay, bagaimana menurutmu?”
“Menurutku makanan ini mempunyai
rasa khas yang gurih dan nikmat apabila disajikan dalam keadaan panas ataupun
hangat.” jawabku tanpa basa basi
“Dan jangan lupa harganya relatif
terjangkau semua kalangan.” senyumnya terlihat bahwa dia sangat pelit dan
matrialistis.
“Hahaha.. nak dody bisa saja.” tawa
Ayahku menyelingi waktu makan kami.
Aku tidak begitu meladeni mereka,
aku hanya terfokus dengan kebudayaan dan makanan khas Cirebon ini. karena
perlahan-lahan membuatku sangat menyukai tempat ini. di tambah lagi disini
masih baik hubungan kemasyarakatannya, mungkin individualisme hanya terdapat di
komplek-komplek atau perumahan saja.
Tempat ini sangatlah membuatku
nyaman, terutama bagian pedesaannya. waktu itu aku bermain-main di jalan desa.
aku berlari di jalan itu, saat aku menengok kearah kanan terlihat sawah hijau
membentang, ketika aku menengok kesebelah kiri, terlihat bapak-bapak dan
ibu-ibu petani sedang memberi pupuk dan
segala keperluan padi tersebut.
“Ay, ada yang ingin aku tunjukan
padamu.” Dody menarik tanganku dan membawaku kesalahsatu jalan.
“Dod, kenapa di tengah jalan? bahaya
tau.” Kami berdiri ditengah jalan tersebut.
“Tunggu sebentar.” Dody terlihat
menunggu sesuatu.
Aku tidak mengerti apa yang dia
ingin tunjukan, tetapi setelah beberapa menit aku mengerti. itu adalah hembusan
angin segar yang menerpa tubuhku dari depan, seakan-akan aku terbang dilangit.
aku sangat menikmatinnya sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa pegangan
tangan Dody makin erat saja.
“Dod, tangamu.” ucapku dengan nada
berat
“Oh, maaf.” dia melepas pegangan
tangannya, “Tanggung ay,” tubuhnya memeluku, seketika aku langsung merasakan
sesuatu yang berbeda dari dirinya.
Aku mencoba untuk melepas pelukannya
dalam pikiranku, tapi dalam tindakannya aku malah menikmati dekapannya yang
hangat. tubuhnya bagaikan selimut dari awan, hangat namun lembut.
“Ay, tak usah aku katakana kamu
pasti tau maksudku kan.” suarannya mengema di telingaku.
“aku pun.” aku hanya bisa
mengangguk.
Aku tau bahwa dimana ada awal pasti
ada akhir, dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan. tetapi aku mengabaikan
semua itu. aku pura-pura tidak tau tentang semua itu. aku berharap semua itu bukanlah
kenyataan yang tak pernah ada.
“Maafkan aku Dod, bukannya aku-“
ucapanku terhenti oleh dekapannya yang lembut.
“Tenang saja, semuannya akan
baik-baik saja. percayalah.” senyumnya terlihat berat namun pelukannya makin
erat.
Sekian banyak perpisahan yang aku
alami ini adalah perpisahan terberat dalam sejarahku, sampai sampai satu minggu
setelah pindah ke Yogya aku masih belum bisa beradaptasi. padahal ini tahun
terakhirku di bangku SMP.
Bukannya aku tidak mencoba
menghubunginya, seperti orang lain mencari cinta pertamannya dimana-mana. dan
bukannya aku tidak berusaha untuk menemuinya. tapi semua itu tidak mungkin,
bagi kami yang tak tau akan bagaimana lagi di jauhkan dan dipisahkan.
Beberapa tahun setelah itu mulai
ramai kehadiran jejaring sosial di internet, akupun mencarinya disana, tapi
tidak seperti orang lain yang bisa menemukan cinta pertamannya,maupun masalalunya
yang masih mereka cintai, aku tidak mendapat apa-apa. aku tau Dody orangnya
memang tidak begitu tertarik dengan perkembangan jaman, tapi aku berharap ada
keajaiban bahwa dia tertarik dan kita bisa bertemu, meski hanya di jejaring
sosial.
Pada salah satu liburan kelulusan
SMA, aku bersama orang tuaku mengunjungi Cirebon lagi, itu merupakan usulanku
sejak lama. aku berharap aku bisa bertemu dengannya lagi. cinta pertamaku.
Sesampainnya di Cirebon aku ingin
segera menemuinnya namun badanku tidak bisa melakukan itu, jadi aku baru bisa
mendatangi rumahnya keesokan harinnya.
Rumah Dody terletak di pedesaan
dekat sawah dulu kami bermain. orang tuanya ramah, aku pernah bertemu sekali
dengan mereka pada saat mengantarkan kue buatan ibuku. ayahnya bekerja sebagai
pegawai didesa dekat rumahnya, dan ibunya adalah pedagang di pasar yang cukup
jauh dari rumahnya.
Sampai didepan rumah Dody aku segera
mengucapkan salam dan disambut oleh ibunya. ayahnya sedang berada di kantor
desa menurut ibunya Dody, namun setelah aku menannyakan tentang keberadaan
Dody, memang ini kabar baik, namun aku menganggap ini malah kabar buruk.
“Bu, kalau si Dody ada dimana yah
bu?” tanyaku malu-malu
“Oh si Dody, Alhamdulillah neng,
Dody dapat beasiswa kuliah di Singapura.” senyum bahagia terlihat dari gusinya
yang terlihat.
“Apa? Singapura?” aku menunduk murung
mendengar hal itu.
“Neng Ayu kenapa? maaf yah neng,
jadi ga bisa ketemu Dody.” senyumnya mulai menurun karena melihat ayu murung.
“Ga, ga papa kok bu, maaf aku harus
segera pulang, titip salamnya saja pada Dody jika dia sudah kembali.”
“Neng? jangan dulu pulang.” bujuknya
dengan lembut.
“Tidak bu, aku minta maaf, tapi aku
harus segera pulang.” aku langsung berlari pulang dengan air mata membasahi
pipiku.
Aku berfikir apakah usahaku ini
sia-sia? dan apakah Dody juga ingin bertemu denganku lagi? aku tidak bisa
berfikir jernih, aku hanya bisa melampiskan rasa kecewa ini pada ibuku, aku
memeluknya erat dan menangis di pelukannya.
“Ibu, Dody bu, Dody.” aku memeluk
ibuku dengan erat.
“Iya nak, ibu tau, bersabarlah.”
ibuku mengelus-elus kepalaku dengan lembut
Saat itu aku hanya berfikir betapa
sakitnya hatiku ditinggal pergi oleh pria yang aku sayangi, apalagi ini adalah
cinta pertamaku.
Tapi setelah aku masuk duniaper
kuliahan, aku mulai membuka hatiku lagi untuk pria lain, dan itu bukan hanya
sekali, bahkan berkali-kali aku menjalin hubungan dengan pria lain dan hasilnya
berakhir dengan perpisahan.
Beberapa memang memilih perpisahan,
tetapi sebagian besar akulah yang memilih mengakhirinya karena menurutku mereka
bukanlah yang aku butuhkan. entah mengapa kurasa hanya Dody yang bisa mengisi
hatiku dengan penuh.
Setelah wisuda aku mulai mendalami
bidang ketering, dan dari ketering itu aku bisa mendapatkan penghasilan yang
lumayan besar, apalagi aku senang melakukannya, padahal aku ini sarjanah hukum.
Setelah aku berfikir dan merenung,
ada baiknya aku pergi ke Cirebon lagi untuk mencari tempat yang bagus, mungkin
saja ada tempat untukku bisa memesan ketering yang bernuansa Cirebon asli.
bukan hanya itu, aku berharap bisa bertemu dengan Dody meski sudah lama sekali
tidak bertemu dengannya.
Aku menuju ke Cirebon mengunakan
kereta ekonomi, aku duduk di dekat jendela, sembari aku membaca buku, aku
melihat keluar jendela. sungguh melihat seperti ini aku terkadang tertawa
karena ada yang lucu, dan sedih kerena melihat negeri ini makin buruk, dan
kagum kerana melihat fenomena alam Indonesia yang indah.
“Dody.” aku tersenyum kosong sambil
menempelkan kepalaku ke jendela kereta.
Aku berfikir seandai kan dia disini
dia pasti akan mengoceh banyak hal tentangnya, dan tentang tempat atau
kebudayaan Cirebon Indonesia itu. aku pun berharap ketika suatu hari nanti jika
kami bertemu lagi, dia masih mengingatku.
Sesampainya di setasiun Kejaksan
Cirebon, aku naik becak, dan beralih naik angkutan umum untuk menuju hotel terbaik
disana. aku berharap bisa punya rumah disini kelak, namun apa alasannya aku
punya rumah disini sedangkan aku tidak punya siapa-siapa disini.
Keesokan harinya aku mulai berburu
tempat yang makanannya khas daerah Cirebon namun memiliki kekuatan untuk bisa berbisnis
ketering yang besar. namun aku kesulitan mencari, tidak seperti di kota-kota
besar, di sini agak sulit untuk mencari hal semacam ini.
“Hah, memang sulit mencarinya
disini.” aku mengusap dahi yang penuh keringat.
Setelah aku berjalan agak jauh, aku
menemukan tempat yang lumayan bagus, dan aku mencoba makan siang disana.
“Warung kenyang.” aku membaca plang
nama tempat ini.
Aku duduk sendiri didekat jendela,
aku memeprhatikan kursi-kursi disini berwarna hijau muda, mengingatkanku akan
makanan Empal gentong khas Cirebon.
tapi ternyata benar, setelah aku melihat menunnya ternyata ada Empal gentong dan makanan khas Cirebon
lainnya, meski tidak semua tapi maknan disini didominasi makanan khas Cirebon,
dan makanan Docang yang sangat aku
sukai.
“Mba, pesan 1 porsi docang, dan
minumnya es serut saja mba.” mengembalikan daftar menu.
“Oke, apa ada lagi?” senyum ramah
pelayan itu.
“Sementara tidak ada mba.”
“Baik, saya akan sengera
menghidangkannya.”
Aku juga memperhatikan pelayanannya
dan para pelayannya memakai seragam yang agak beda dari tempat lain. disini
mereka memakai semacam seragam yang sudah di modifikasi dari seragam biasa
diberi nuansa batik Mega mendung.
Batik Mega mendung adalah batik khas Cirebon, dulu Dody pernah
menjelaskan bahwa batik ini disebut Mega karena
bentuknya mirip dengan awan dan disebut Mendung
karena warna bayangannya yang menunjukan bahwa awan ini sedang mendung.
Tempat ini semakin bagus saja
setelah aku menerima makanan dari pelayan dan mencicinya. menurutku ini makanan
benar-benar asli Cirebon, tanpa ada perubahan dari bahan lain selain bahan
alami.
Setelah aku menghabiskan makanan
ini, aku berfikir untuk mengobrol dengan pemilik tempat ini untuk menanyakan
prihal ketering yang saya ingin tawarkan.
“Mba, bisa kesini?” aku mengangkat serbetku dengan tangan kanan.
“Iya, saya segera kesana.” pelayan
itu berjalan perlahan mendekat, “Iya mba, ada yang bisa saya bantu?”
“Apa saya bisa bertemu dengan
pemilik tempat ini, saya ingin sedikit mengobrol dengan pelimiknya.”
“Oh tentu bisa mba, sebentar saya
panggilkan. untungnya pak Tama masih disini.”
“Saya tunggu yah.” aku menunggu
sambil menyiapkan kartu namaku dan beberapa kertas kosong.
Jika bisnis keterigku sukses dengan
tempat ini, mungkin tempat-tempat lainpun akan bisa lebih hebat lagi. aku
berharap besar dengan tempat ini untuk memasok makanan khas Cirebon dalam acara
yang lebih bergengsi.
Sekitar 5 menit aku menunggu
pemiliknya datang, aku berfikir pemiliknya akan segera datang ketika aku ingin
bertemu dengannya, mungkin dia sangat sibuk dengan tempat sebagus ini.
“Iya Ibu saya pemilik tempat ini,
ada yang bisa saya bantu?” sesosok pria mengenakan baju koki berdiri didepan
mejaku.
“Jadi bapak ini adalah pak Tama
kalau tidak salah, saya-“ aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku setelah aku
melihat wajah pria tersebut.
“Iya ibu Ayu saraswati.” pria
tersebut tersenyum dan langsung memelukku, yang, ternyata dia adalah Dody cinta
pertamaku.
“Kamu.” aku hanya bisa terdiam dan
membalas pelukannya.
“Aku berharap tidak ada yang akan
marah, karena aku memelukmu.” pelukannya semakin erat.
Aku sangat nyaman dengan pelukannya
namun aku agak ragu apakah Dody masih punya perasaan yang sama, sesame waktu
itu.
“Aku lajang kok Dod, aku berharap
kamu pun sama.” aku menunduk dengan nada dipelankan.
“Tentu saja, sejak saat itu Cuma
kamu yang mengisi hatiku.”
Aku mendengarnya dengan jelas, aku
tak kuasa menahan air mata yang turun deras mengalir di pipiku, aku makin erat
memluk Dody, seakan akan aku tak mau lepas darinya lagi, aku sangat senang bisa
berada pada kehangatannya lagi.
“Ay, ini tempat umum, bisa lanjutkan
di tempat lain?”
Pertanyaan yang tidak aku harapkan
sekarang.
~SELESAI~