Posted by : Unknown
December 26, 2016
LAPORAN REVIEW
“SISTEM POLITIK INDONESIA”ARBI SANITCETAKAN KE-17, 2014
Bab 1
Kestabilan Politik dan Peta Politik
Kestabilan Politik
Salah
satu gambaran ketidakstabilan politik Indonesia terlihat dari masa pemerintahan
kabinet-kabinet di masa Demokrasi Konstitusional yang paling lama sampai 23
bulan. Dari singkatnya waktu tersebut, setiap kabinet kurang kesempatan untuk
menyelesaikan persoalan- persoalan yang dihadapinya. Kalau ketidak stabilan
terdahulu bersumber dari kelemahan elit untuk bekerja sama satusama lain, maka
terakhir ini bersumber dari belum melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat bagi
masyarakat untuk ambil bagian dalam proses politik.
Secara
teoritis, stabilitas politik ditentukan oleh 3 variabel, yakni perkembangan
ekonomiyang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses
politik, dan partisipasi politik. Dalam hal hubungan antara perkembangan
ekonomi dengan demokrasi, negarawan dan penelitian politik Barat menyimpulkan
bahwa masalah politik yang penting bersumber dari perkembangan industri yang
cepat.
Dengan
perkembangan industri tersebut memperbesar
jumlah buruh tidak ahli dari desa, tapi tidak mampu menjadi ahli sesuai
kecepatan perkembangan industri. Akibatnya, pengangguran menjadi masalah
politik yang harus segera diselesaikan. Bagi Indonesia yang banyak penduduknya
hidup dalam sektor pertanian, ada usaha untuk meningkatkan hasil pertanian guna
mendampingi perkembangan industri, dengan harapanagar sektor pertanian menyerap
banyak tenaga kerja.
Namun,
ada persoalan pokok untuk menyeimbangkan antar daya serap tenaga kerja semua
sektor ekonomi dengan persediaantenaga kerja di masyarakat. Kecenderungan ini
menyebabkan tumbuhnya potensi radikal petani pedesaan dan kalangan bawah
masyarakat kota, karena ketidak puasan serta perasaan tidak aman tentang
kehidupan yang baik.Masyarakat tersebut lebih mudah tergoda untuk melakukan
tindakan-tindakan kekerasan. Sebagai bukti terlihat dari dengan mudahnya PKI
menggerakkan massa petani untuk melakukan aksi sepihak pada awal tahun 1960-an,
karena ketidakpuasan di kalangan petanimenyebabkan mereka lebih mudah tertarik
pada taktik perjuangan PKI.
Di
samping semua itu, pada situasi di mana perkembangan ekonomi yang tidak
diimbangi partisipasi masyarakat secara politik, sulit juga diharapkan
terpeliharanya kestabilan politik. Kestabilan politik dalam suasana partisipasi
politik yang tinggi sekiranya diimbangi perkembangan pelembagaan politik.
Maksudnya, masyarakat ingin ikut ambil bagian dalam proses politik melalui
lembaga-lembaga politik sesuai kekuatan politik di masyarakat. Partisipasi yang
tidak tersalurkan akan goncangan-goncangan terhadap kestabilan politik.
Tanpa
menghubungkan dengan pembangunan, kestabilan politik dapat juga
dipeliharadengan mempertahankan tingkat pelembagaan politik yang rendah; asal
diimbangi partisipasi politik yang rendah pula. Dalam penelaahan mengenai
kestabilan politik Indonesia sejak merdeka, dapat dibedakanantara kestabilan
dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Kestabilan
politik jangka pendek lebih banyak ditentukan oleh kewibawaan pemerintah. Silih
bergantinya pemerintahan masa Demorasi Konstitusional dalam waktu singkat
sehingga kesempatan untuk melaksanakan programnya sulit menurunkan kepercayaan
masyarakat. Penurunan kepercayaan tersebut mempengaruhi kestabilan politik.
Selain
itu, kepercayaanmassa terhadap kepemimpinan kharismatik Soekarno di masa
Demokrasi Terpimpin banyak juga
berpengaruh terhadap kestabilan politik jangka pendek. Semakin lamanya Soekarno
memerintah didorong juga masalah-masalah nasional yang tak terselesaikan, maka ketidakstabilan
politik makin dirasakan. Dengan demikian, dalam jangka pendek ketidakstabilan
politik di Indonesia lebih banyak tergantung pada faktor seni dan keahlian
berpolitik dan memerintah.
Kewibawaan
pemerintah, kemampuan berkompromi, dan kemampuan memimpin birokrasi tampaknya lebih
berperan bagi stabilitas dalam jarak 1 atau 2 masa pemilu. Stabilitas politik
jangka panjang ditentukan oleh 3 faktor, yaitu perkembangan ekonomi,
pelembagaan struktur dan proses politik, dan partisipasi politik. Dalam
pergantian sistem politik Demokrasi Konstitusional ke Demokrasi terpimpin
pelembagaan politik lemah. Lalu tercetus ketidakpuasaan terhadap Demokrasi
Terpimpin karena kemerosotan ekonomi danmakin banyak kekuatan politik yang
tidak memperoleh peran.
Beberapa
fenomena tersebutterjadi dalam waktu yang singkat, namun dampaknya berlaku
sampai beberapa tahun berikutnya dalam perkembangan politik di negeri ini.
Peta
Kekuatan Politik
Beberapa
golongan kekuatan politik yang ada di Indonesia, yakni ABRI, Partai Politik, Golongan
Karya, dan kekuatan politik anomi seperti mahasiswa dan pemuda. Memang dalam realitasnya
penggolongan itu tidak sesederhana seperti yang tersebut. Di antara
golongan-golongan itu terdapat perbedaan, namun dalam menghadapi berbagai
masalah ada jalur penghubung di antara
mereka.
Secara
keseluruhan kekuatan-kekuatan politik masa Orde Baru dapat dikategorikan dalam golongan
radikal, konservatif, dan moderat. Golongan radikal melarang kesempatan
berkolaborasi dengan rezim Orde Lama. Golongan ini menghendaki bersihnya
kehidupan politik Orde Baru dari pengaruh Orde Lama dan mereka lebih condong ke
Barat dalam mengatur kehidupan politik dan ekonomi.
Golongan
konservatif yang lebih cenderung pada politik sipil juga menghendaki
pembersihan terhadap sisa-sisa pengaruh Orde Lama. Tidak seperti golongan
radikal, golongan ini menghendaki pembangunan ekonomi yang benar-benar
didasarkan pada modal dalam negeri dan mereka juga menghendaki pengambilan
keputusan dengan musyawarah dan mufakat.
Sedangkan
Golongan moderat mengambil jalan tengah dengan mempertimbangkan antara tuntutan
keduagolongan tadi.
Bab 2
Partai Politik: Partisipasi
Politik dan Legitimasi Sistem Politik
Sistem Politik
Masyarakat
yang secara minimal mengenal berbagai sistem politik di dunia dan mencoba mempraktekkan
salah satu atau kombinasi sistem politik yang dikenalnya. Demikian halnya dengan
partai politik yang sebelum kemerdekaan sudah menghadapi berbagai masalah kehidupan
partai. Para perintis kemerdekaan sudah memikirkan sistem kepartaian apa yang akan
dikembangkan di Indonesia, namun mereka tidak berkesempatan mempraktekkan
pemikiran-pemikiran mereka.
Di
samping itu, perkembangan ekonomi dan kemasyarakatan belum memberi kesempatan
meletakkan dasar-dasar kehidupan partai politik yangdiharapkan.
Aliran: Struktur Vertikal
Masyarakat
Besarnya
peran agama dalam masyarakat ternyata melandasi kekuasaan raja-raja masalalu.
Peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut,
dan sebagainya memperlihatkan pada kita bagaimana hubungan agama dengan
kekuasaan dan susunan masyarakat pada masa lalu.
Masuknya
Islam, tidak jauh berbeda dengan masa Hindu-Budha di mana ajaran agama sebagai
landasan kekuasaan raja. Tapi, perkembangan Islam menumbuhkan kelompok baru dalam
masyarakat, yakni Islam dan non Islam atau santri dan abangan. Di masa kolonial
Belanda, hubungan kekuasaan dengan agama hampir tak berubah. Disatu pihak
Belanda sekuler dengan segala aparat birokrasinya. Di lain pihak Belanda tetap menegakkan
kekuasaan yang dihubungkan dengan agama melalui sistem indirect rule, para pemimpin lokal yang merupakan lapisan atas dari
masyarakat Indonesia.
Aliran dan Organisasi-Organisasi
Pergerakan Kemerdekaan
Berbagai
golongan di atas mempengaruhi kehidupan organisasi sosial dan politik. Organisasi
sosial seperti Budi Utomo, Syarikat Dagang Islam, Nahdathul Ulama
(sebelummenjadi parpol), dan Muhammadiyah lebih memgutamakan tuntutan sosial
golongan tertentudi masyarakat. Di samping itu, lahir pula kelompok yang
didasari kepada suku kedaerahan, seperti Paguyuban Pasundan, Sarekat Sumatera,
Sarekat Ambon, Rukun Minahasa, dan Kaum Betawi.
Ketidakpuasan
dari golongan menengah dan yang terdidik secara Barat menimbulkan arah pada
pergerakan politik. Unsur utama perjuangan mereka dilandasi ketidakadilan dan kemerdekaan.
Pengorganisasian
Partai Politik
Ikatan
primordial yang mencakup agama, suku, dan kedaerahan berpengaruh terhadap
pengorganisasian partai-partai politik dan hubungannya dengan massa jelas
sekali terlihat seperti pada masa perjuangan kemerdekaan. Sementara itu,
organisasi kepentingan sepertiorganisasi-organisasi wanita, pemuda, veteran,
buruh, petani, dan lain-lain membentuk suatualiran politik.
Satu
dimensi lagi dari hubungan antara partai dengan massa di Indonesia ialah kecenrungan
terpusatnya dukungan partai di daerah tertentu. Berdasarkan hasil pemilu tahun 1955
dan 1971, terlihat Masyumi memperoleh dukungan utama di Aceh, Tapanuli Selatan,
Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. NU dominan di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, Jakarta, dan Kalimantan. Sedangkan Parkindo dominan di Sumatera Utara
dan Maluku.Hasil pemilu 1955 memperlihatkan bahwa PKI banyak dukungan dari Jawa
Tengah dan beberapa di Sumatera. Lalu PNI dan NU terikat pada Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Dari uraian
tersebut partai politik mempunyai hubungan mendasar dengan pendukungnya. Setiap
partai dapat dikatakan mewakili paham yang ada di masyarakat. Kemudian ada
masalah lagi yang perlu diperhatikan terkait partai politik, yaitu persoalan kepemimpinan
partai politik itu sendiri. Banyak peneliti politik Indonesia setuju memakai istilah
“bapakisme” untuk menyimpulkan sifat-sifat kepemimpinan di Indonesia. Sifat ini
menunjukkan pada kita bahwa hubungan pemimpin dengan yang dipimpin seperti
hubunganantara anak dan bapak. Anak harus setia dan patuh pada bapak dan
sebaliknya bapak harus mengayomi anaknya.
Sejalan
dengan ini, Willner memakai istilah “bapakisme yang bukanotoriter” untuk
mengungkapkan wibawa pemimpin terhadap masyarakat yang tidak sepenuhnya otoriter,
tapi tidak memenuhi persamaan kedudukan dalam persyaratan demokrasi. Peninjauan
ini yang menyebabkan Wertheim menyimpulkan bahwa kepemimpinan dalam masyarakat
Indonesia lebih banyak sifat otoriter dari pada demokratis.
Sifat
kepemimpinan “bapakisme” ini mempersulit penggantian pemimpin partai, oleh karena
pengikut sulit untuk menarik kesetiaannya pada pemimpin. Apalagi bila pemimpin memang
memenuhi kewajiban pengayomannya. Pola kepemimpinan ini mengakibatkan ketertutupan
lingkaran kehidupan politik yang mana dapat memicu kurangnya pemikiran-
pemikiran baru yang masuk ke dalam kehidupan politik.
Lalu
kepemimpinan “bapakisme” yang menuntut pengikut tanpa diimbangi pengawasan pada
bapak pemimpin mendorong pemantapan sistem sentralisasi pengorganisasian partai
politik. Sebenarnya sistem organisasi partai politik di Indonesia menggabungkan
antara keanggotaan langsung dan keanggotaan tidak langsung.
Pada
sistem langsung, partai menggunakan ranting-ranting sebagai unit organisasi
terkecil untuk memelihara hubungan anggota dengan partai. Pada sistem tidak
langsung, adanya himpunan massa yang dikelompokkan dalam organisasi massa
(ormas) dalam batas kepentingan tertentu. Dengan demikian, masyarakat sudah
terkotak mengikuti organisasi vertikal, partai mulaidari ranting sampai cabang,
dan melalui organisasi horizontal partai yaitu organisasi massa.
Pengelompokan Partai
Faktor
sejarah, sifat-sifat hubungan masyarakat, kemampuan organisasi elit, dan sikap ideologi
berpengaruh negatif pada kehidupan partai politik. Namun, seringkali pemimpin cenderung
mempermasalahkan jumlah partai yang terlalu banyak sebagai masalah pokok di
balik lemahnya partai. Masalahnya ialah apakah dengan menyederhanakan jumlah
partai, perbaikan kehidupan partai dapat dilaksanakan.
Usaha
penyederhanaan partai politik dengan menyederhanakan jumlah partai politik
dilakukan pada masa Orde Baru dengan hanya mengizinkan tiga parpol dan satu
golongankarya untuk mengikuti pemilu setelah tahun 1971. Berhasil atau tidaknya
akan diukur dari perkembangan sejarah. Tidak mudah memperkirakan kemungkinan
yang akan dialami dari pendekatan tersebut.
Bab 3
Angkatan Bersenjata: Pembangunan
dan Pembaharuan Politik
ABRI dan
Politik
Munculnya
militer di bidang politik, sosial, dan ekonomi negara-negara berkembang,
berpangkal pada lemahnya pihak sipil mengendalikan semua unsur kehidupan
masyarakat. Politisi sipil relatif cepat dihadapkan pada masalah seperti
penyusunan sistem politik yangrelatif tergesa-gesa, masih coba-coba menentukan
model untuk pelayanan tuntutanmasyarakat. Selain itu, kurangnya efektivitas dan
solidaritas elit besar sekali perannya sebagai faktor pendorong sipil ke
belakang politik. Sekiranya pandangan tersebut memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
kemampuan militer mengelola kehidupan politik Indonesia.
Keunggulan
militer dalam hal organisasi diantaranya, mereka lebih terorganisir daripada
sipil, melalui sentralisasi komando, hirarki, disiplin, komunikasi intern yang
lancar. Sifat-sifat inilah yang tidak dikembangkan pihak sipil secara
sistematis dan utuh. Bergesernya ABRI ke bidang politik, sosial, dan ekonomi
berjalan dalam waktu 20 tahun. Sejarah politik Indonesia penuh pengalaman yang
menunjukkan belum dibinanya koordinasi sipil dan militer.
Situasi
tersebut terlihat dari ketidakpuasan militer terhadap kebijaksanaan politik
yang diambil pemerintah dalam politisi sipil. Pada masa Demokrasi
Konstitusional diwarnai usaha politisi sipil untuk mengontrol kepemimpinan dan
organisasi militer. Munculnya Nasution dengan peristiwa 17 Oktober 1952
merupakan penolakan militer untuk dikontrol oleh sipil. Pada saat Demokrasi Terpimpin,
keutuhan ABRI diperlukan kembali. Pertama, untuk menghindari pemisahan
daerah-daerah dari NKRI. Kedua, untuk mengimbangi kekuatan politik PKI.
ABRI dan Pembangunan
Secara
sosial, militer lebih mampu menjadi modernisator sebab: (a) tentara lebih cepat
berkenalan walaupun banyak anggota berasal dari daerah pedesaan; (b) proses
akulturasi dalam tentara lebih mengarah pada teknologi; dan (c) secara politis,
akulturasi tentara lebih melibatkan diri pada negara secara keseluruhan.
Inilah
sebabnya juga tentara terikat sekali pada dua hal, yaitu keutuhan nasional dan
pembangunan. Militer lebih terikat pada pembangunan, ada beberapa faktor yang
menentukan. Pertama, militer terbiasa membandingkan masyarakat sendiri dengan
masyarakat di negara-negara lain. Kedua, militer lebih terikat pada cara pikir
rasional, efisien, dan pragmatis. Ketiga, militer agak memiliki jarak dengan
masyarakat sipil.
Kepemimpinan dan Organisasi ABRI
Kepemimpinan
politisi sipil lebih didasarkan pada unsur tradisional masyarakat, seperti kharisma
dan kewibawaan Soekarno, ikatan primordial kepemimpinan Natsir, Ali Sastroamidjojo.
Berbeda dengan itu, kepemimpinan militer Indonesia didasarkan padalembaga
masyarakat yang lebih modern. Melalui sistem komando ABRI lebih mampu
beradadalam organisasi yang utuh. Lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong
pula sistem hirarki yang disiplin. Hirarki dan disiplin amat membantu komandan
mengendalikan tingkah laku anggotanya di seluruh daerah. Lalu rasa keterikatan
anggota militer, seperti ABRI membantu juga efektivitas kepemimpinan militer.
Sebagai kelompok yang memperoleh sosialisasi seragam, kecil kemungkinan tumbuh
perbedaan pandangan dalam ABRI.
Satu hal
lagi yang menentukan suksesnya kepemimpinan ABRI ialah sistem komunikasi yang
terpelihara. ABRI memiliki jaringan komunikasi yang terpisah dari yang dipakai masyarakat
umum. Di samping itu, pertemuan baik tingkat nasional maupun daerah dilaksanakan
dengan teratur.
ABRI dan Pembaharuan Politik: GOLKAR
Masalah
ABRI bukan hanya sekedar mengendalikan politik nasional, melainkan berkurangnya
efektivitas jika tidak didampingi partisipasi masyarakat yang bertolak dari
penerimaan dan legitimasi dari masyarakat.
Kedua unsur di atas satu sama lain berhubungan erat. Sebab
“authority” merupakan pengaruh dari pemimpin yang erat kaitannya dengan
legitimasi: dan legitimasi merupakan kepercayaan (dari masyarakat) terhadap
struktur, prosedur, kebijaksanaan, keputusan dantindakan pemimpin. Salah satu
kelemahan pokok militer ialah “tidak mudah bagi tentara memperoleh legitimasi
yang menyebabkan militer agak langka moral untuk memerintah”.
Apabila
sampai pada masalah ini, maka hakikat persoalan adalah hubungan sipil dan
militer. Janowitz mengemukakan 5 tipe hubungan sipil militer: (1)
authoritarian-personal; (2) authoritarian-massparty; (3) democratic-competitive
; (4) civil-military coalition ; dan (5) military oligarchy.
Masalah
pokok ABRI lainnya ialah ABRI tidak bisa berbuat apa-apa tanpa lembaga-lembaga
masyarakat. Sebab sifat dinamis suatu sistem tergantung pada masyarakat keseluruhan,
yakni dari lembaga-lembaga masyarakat yang mampu menjawab tantangan yang
dihadapi. Seluruh masalah di atas diselesaikan melalui pengembangan kerja sama
ABRI dengan berbagai unsur masyarakat yang potensiil. Maka dari itu, ABRI
memasuki kalangan birokrasi pemerintahan serta meyakinkan bahwa ABRI dapat
mengontrol kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Kedua
tujuan ini terjalin dalam pembentukan Golongan Karya(GOLKAR) sebagai organisasi
massa berlandaskan profesi. Pembentukan Golkar yang notabene adalah kelompok
politik bentukan dari atas pemerintahan memperlihatkan pergeseran penafsiran
ideologi pada pembangunan. Selain itu, Golkar seperti alat yang digunakan oleh
pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya dan melancarkan apa yang
disebut pembangunan.
Lalu ada
3 faktor yang membuat Golkar menang dalam pemilu 1971. Pertama, Tap Mendagri
No. 12 tanggal 4 Desember 1969 yang melarang anggota badan perwakilan daerah
dari golongan fungsional untuk memegang keanggotaan salah satu partai politik.
Kedua, Keputusan Pemerintah No. 6 tanggal 11 Februari 1970 yang melarang
pegawai negeri untuk aktif dalam partai politik. Ketiga, ialah peranan Golkar
yang banyak memperoleh perhatian pimpinan OPSUSHANKAM, Brigjen Ali Murtopo.
Dari ketiga faktor tersebut, dapat dilihat adanya kekangan terhadap masyarakat
untuk bebas berpolitik.
Dengan
demikian, kalau kita hubungkan dengan pembaharuan politik yang meliputi masyarakat
Indonesia seluruhnya, maka cukup alasan bahwa Golkar mengikuti hirarki militer
di mana perintah hanya dari atas. Masalahnya ialah pembaharuan politik juga
banyak ditentukan oleh partisipasi masyarakat.
Lembaga-lembaga
masyarakat belum berkapasitas menyertai pembaharuan tersebut, karena bagaimana
pun ikatan tradisional masih berpengaruh, seperti terlihat dari perintah yang
hanya datang dari atas. Untuk itulah diperlukan pertumbuhan
organisasi-organisasi sukarela di masyarakat sebagai penampung dan pengembang
daya kreatif masyarakat.
Bab 4
Mahasiswa dan Angkatan Muda
Kekuatan Politik Anomie
Sumpah
Pemuda tahun 1928 dianggap yang pertama kali mengeluarkan pendapat bahwa angkatan
muda merupakan komponen dalam masyarakat yang juga mengambil bagian didalam
kehidupan politik Indonesia. Tercapainya kemerdekaan, tidaklah mengendorkan kegiatan
angkatan muda di dalam politik Indonesia, dengan kata lain teknik perjuangan,
permasalahan yang menjadi titik tolak kegiatan dari aktivitas bisa berbeda dari
waktu kewaktu.
Bagi
partai politik, perkembangan jumlah mahasiswa dilihat sebagai kekuatan
potensial, karena itu menjelang pemilu tahun 1955 partai politik meningkatkan
kegiatan di kalangan mahasiswa dalam rangka memperoleh dukungan, karakteristik
dari mahasiswa sendiri merupakan faktor pendorong bagi meningkatnya peranan
mereka di dalam kehidupan politik angkatan muda.
Pertama,
sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai
horizon yang cukup luas di antara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak
diantara pelapisan masyarakat.
Kedua,
sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, mahasiswa
dianggap telah melalui proses sosialisasi yang terpanjang di antara angkatan muda.
Di damping oleh sosialisasi di bidang politik yang sekiranya didapat dari
berbagai organisasi mahasiswa, baik yang pro kepada salah satu partai politik,
maupun yang bukan. Maka mahasiswa merupakan kelompok dari angkatan muda yang
mempunyai pengetahuansosial dan politik yang lebih banyak.
Ketiga,
kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa, jika dibandingkan
dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka universitas lebih kentara maknanya
bagi pembentukan akulturasi sosial dan budaya dikalangan angkatan muda.
Keempat,
mahasiswa dianggap sudah menjadi atau merupakan kalangan elit di antara kalangan
angkatan muda lainnya, sebab mahasiswa yang merupakan bagian kecil dari angkatan
muda umumnya mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang lebih
baik dibandingkan angkatan muda lainnya.
Kelima,
meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak terlepas
daripada perubahan kecenderungan orientasi universitas. Mahasiswa
sebagaikomponen universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat di dalam
pemikiran, pembicaraan serta penelitian tentang masalah-masalah seperti halnya,
hampir separuh dari tamatan universitas yang berasal dari daerah tidak kembali
ke daerah asalnya malah mencari pekerjaan di kota, hal ini dikarenakan lapangan
pekerjaan di daerah tidak memadai untuk tamatan universitas.
Angkatan Muda dan Politik
Adapun
faktor-faktor pendorong mahasiswa untuk terjun ke dunia politik tidaklah
terpisah dari unsur-unsur penyebab politik angkatan muda. Perbedaan nilai
antara generasi angkatan muda dengan generasi angkatan yang lebih tua mendorong
terbentuknya generasi muda sebagai kekuatan politik di Indonesia, akan tetapi
sesuai dengan tanggapan mereka terhadap lingkungan dan diri sendiri membuat
generasi muda lebih tertarik kepada masalah-masalah kesempatan kerja, kebebasan
berbicara dan berkumpul, karena menurut mereka hal-hal tersebut akan mereka
hadapi secara nyata dan akan mempengaruhi kehidupan mereka di hari depan.
Mahasiswa dan Politik
Umumnya mahasiswa
yang aktif berpolitik adalah mereka yang memiliki pandangan pesimis mengenai
kemungkinan untuk memperoleh posisi yang baik di dalam masyarakat, sebaliknya
mahasiswa yang berhasil studinya dan lebih yakin akan ketersedianya kesempatan untuk
memperoleh jabatan yang baik, pada umumnya memperlihatkan kecenderungan yang kecil
untuk berpolitik. Di dalam hal ini, faktor idealisme yang mendorong bagi
kegiatan politik mahasiswa pada umumnya mungkin akan memberikan jawaban yang
bermakna untuk diperhatikan.
Semua
unsur-unsur di atas bersama-sama mendorong kegiatan politik mahasiswa
disekitar pergantian sistem politik
Demokrasi Terpimpin kepada sistem politik Demokrasi Pancasila.
Bab 5
Politik, Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat
Politik dan Pembangunan Ekonomi
Politik
dan ekonomi di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, misalnya
pada perencanaan dan pengerahan masyarakat terhadap pembangunan perekonomian merupakan
contoh dari hubungan yang sangat erat antara politik dan ekonomi.
Hubungan
antara politik dan ekonomi Indonesia bisa terjalin dengan erat dikarenakan
beberapa faktor, yang pertama, sebagai negara yang baru lepas dari sistem
ekonomi kolonial di mana sistem ekonomi terpecah menjadi dua unsur yaitu,
ekonomi ekspor dan ekonomilokal. Tindakan seperti itu diperlukan pula mengingat
perekonomian lokal terjerat di dalam sistem produksi untuk kebutuhan sendiri.
Bahkan untuk pasar yang menghendaki produksi yang cukup besar.
Kedua,
sebagai akibat dari sistem ekonomi penjajahan di mana masyarakat lebih terpusat
kepada sektor produksi pertanian, maka sektor industri dan perdagangan menengah
atau perantara dengan sektor ekspor amatlah lemah.
Ketiga,
kelompok ekonomi yang baru tumbuh ini juga lemah kedudukannya untuk bersaing dengan kelompok ekonomi yang telah
berpengalaman sebagai perantara di dalam sistem ekonomi kolonial.
Keempat,
secara nasional kelompok-kelompok ekonomi tersebut belum mampu melihat potensi
sesungguhnya yang dimiliki Indonesia, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing
dengan kelompok ekonomi lainnya.
Hal yang
paling penting antara hubungan sistem ekonomi dan politik adalah politik
memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang nantinya dapat
digunakan sebagai salah satu solusi untuk menstabilkan perekonomian atau bahkan
untuk memajukan perekonomian di Indonesia.
Pembangunan tidak berimbang
Kesepakatan
akan mudah diperoleh jika kita berbicara mengenai perlunya pembangunan bagi
Indonesia. Lebih daripada itu, ialah bagaimana proses atau usaha untuk mencapai
kemakmuran itu berjalan, adalah persoalan yang perlu mendapat perhatian yang
cukup. Sebab pada hakekatnya pembagunan adalah untuk memperbesar kebahagiaan
yang dapat dicapai oleh anggota masyarakat.
Pembangunan
ekonomi diukur dari tiga tingkat. Pertama, masyarakat memperoleh hasil dari
pembangunan antara lain berupa peningkatan hasil pertanian, jalan raya atau
sekolahan. Kedua, terdapat pertumbuhan jumlah orang yang bisa memimpin
perusahaan, pabrik dan sebagainya. Ketiga, terdapat peningkatan wewenang
administrasi, peningkatan perencanaan di kementrian-kementrian, atau
perkembangan kemampuan dalam rangka mengelolah perusahaan-perusahaan yang baru
tumbuh. Semua tingkat perubahan itu berguna bagi pertumbuhan sistem politik.
Pengendalian Pembangunan
Sebagai
badan yang menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (PELITA), Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional BAPPENAS) memberikan pertanggung-jawabannya langsung
kepada Presiden. Dengan kata lain badan ini biasanya disebut sebagai lembaga
Non Departemental.
Rencana
pembangunan disusun BAPPENAS tersebut terlebih dahulu dibicarakan oleh sidang
kabinet sebelum diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh
persetujuan sebagai undang-undang. Kemudian DPR membicarakan rencana
pembangunan tersebut senafas dengan pembicaraan Rencana Anggaran Belanja Negara
(RAPBN), sebab biaya pembangunan merupakan bagian dari belanja negara setiap
tahun.
Di
samping sebagai pelaksana pembangunan, maka kapasitas birokrasi pemerintah
sebagai pelopor perubahan masyarakat tidak kalah pula pentingnya diperhatikan.
Masalah peranan birokrasi memasuki batas peranan lembaga-lembaga masyarakat di
luar dirinya.
Pada
hakekatnya peranan birokrasi yang luas ini merupakan faktor yang memperkuat
kepada sifat yang melekat kepada birokrasi sebagai organisasi, yaitu
kecenderungan untuk bersifat oligarkis.
Masalahnya
sekarang ialah di satu pihak birokrasi perlu pengawasan; dilain pihak belum
bisa dikembangkan sistem pengawasan yang efektif. Secara teoritis memang suatu
organisasi dapat diawasi melui sistem hirarkis.
Partisipasi masyarakat di dalam
Pembangunan
Di dalam
pembangunan yang berhasil, ikut sertanya masyarakat luas bukan hanya di dalam
mengawasi aparat pemerintahan seperti birokrasi pemerintahan. Maka sesungguhnya
pembangunan ekonomi melibatkan semua perubahan yang mungkin diselenggarakan di
dalam masyarakat.
Perubahan
di dalam masyarakat biasanya dimulai dari sekelompok orang yang berhasil
merubah dasar statusnya di dalam masyarakat. Biasanya kelompok ini merupakan
bagian dari masyarakat yang banyak berhubungan dengan dan mengenal dunia luar
lingkungannya sendiri. Oleh karena kelompok yang relatif kecil ini, terpusat di
kota-kota sedangkan sebagian besar masyarakat Indonesia berada di pedesaan yang
secara komunikasi relatif tertututp, maka masalah yang dihadapi ialah bagaimana
memperbesar dan menyebarkan jumlah yang relatif terbatas itu.
Keperluan
akan pelopor pembangunan bukan saja karena masyarakat langka akan
pemimpin-pemimpin yang mampu membawa perubahan ke dalam masyarakat. Akan tetapi
kedua jenis pemimpin yaitu pemimpin formal seperti kiyai, mempunyai
kelemahannya sendiri-sendiri untuk bertindak sebagai pelopor pembangunan.
Sedangkan pemimpin non formal belum begitu besar prosentasenya yang mempunyai
dasar-dasar pengetahuan untuk bertindak sebagai pelopor pembangunan.
Kalau
usaha pelopor pembangunan berfaedah untuk keseluruhan usaha pembangunan, maka
di dalam rangka meningkatkan potensi ekonomi dan pengertian keahlian dan
kemampuan berusaha, yang diharapkan ialah para pengusaha. Di Indonesia,
pengusaha sebagai kelompok masih lemah. Sementara perusahaan-perusahaan besar
nasional masih kecil jumlahnya, kelompok usahawan menengah belum tumbuh untuk
mempercepat perkembangan perekonomian.
Pada
akhirnya perhatian kita tertuju kepada daerah pedesaan yang sesungguhnya
merupakan basis dari kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
- Home>
- politik , review , sistem politik indonesia , tugas >
- Tugas | Review Sistem Politik Indonesia - Arbi Sanit
Jangan cuma copas, tapi baca bener-bener!
ReplyDeleteAyo segera!
ReplyDeleteboleh tuh gan, cari penghasilan
ReplyDeleteSemangat jualan bro
ReplyDelete