Posted by : Unknown
January 02, 2017
form Idsmk |
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Peran Islam dalam
perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam
sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki
umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam
ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah
fikriyah) bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam
sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi
segala ilmu pengetahuan.
Maka ilmu pengetahuan
yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang
bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua,
menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi
pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah
yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme)
seperti yang ada sekarang.
Standar syariah ini
mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan
halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek
jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek dan
telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya,
walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh perdaban barat satu
abad terakhir ini, mencengangkan banyak orang di berbagai penjuru dunia.
Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh
perkembangan iptek modern membuat orang lalu mengagumi dan meniru- niru gaya
hidup peradaban barat tanpa dibarengi sikap kritis terhadap segala dampak
negatif yang diakibatkanya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan IPTEK?
2. Bagaimanakah
kedudukan wahyu dan akal dalam islam?
3. Apakah
fungsi dan peran wahyu dan akal?
4. Bagaimanakah
karakteristik dan klasifikasi ilmu dalam islam?
5. Seberapa
wajibkah manusia dituntut untuk menuntut ilmu?
6. Apa
saja metode dakwah yang sering digubakan?
7. Bagaimana
Etika dalam berkomunikasi?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui apa itu IPTEK.
2. Untuk
memahami bagaimana relevansi IPTEK dengan Islam.
3. Untuk
mengetahui apa itu wahyu dan akal, kedudukannya serta peran dan fungsinya.
4. Untuk
mengetahui karakteristik dan klasifikasi ilmu dalam Islam.
5. Untuk
memahami kewajiban manusia menuntut ilmu.
6. Untuk
mengetahui kejayaan intelektualisme islam beserta tokohnya serta mengetahui
universalitas dalam konteks ilmu komunikasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2. 1. Pengertian IPTEK
Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif
Al-Qur’an
Semua persoalan ilmu pengetahuan
yang telah mantap dan meyakinkan, merupakan perwujudan atau manifestasi dari
pemikiran yang sungguh-sungguh dan mendalam yang dianjurkan oleh al-Qur’an,
tidak ada sedikit pun yang bertentangan dengannya. Ilmu pengetahuan yang telah
maju dan telah banyak pula masalah-masalahnya yang muncul, meskipun demikian,
apa yang telah tetap dan mantap daripadanya tidaklah bertentangan sedikit pun
dengan salah satu dari ayat-ayat al-Qur’an. Ini saja menurut al-Qattan sudah
merupakan kemukjizatan dari al-Qur’an.
Memang pada prinsipnya al-Qur’an
merupakan informasi ilmiah yang banyak memperhatikan ilustrasi-ilustrasi
tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sedikit demi sedikit dan setahap
demi setahap dapat terungkap rahasianya melalui penelitian yang mendalam dan
penyelidikan yang serius, baik di laboratorium-laboratorium, di daratan, di
lautan maupun di angkasa raya. Padahal kita mengetahui bahwa al-Qur’an
diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang masih primitif yang kebanyakan dari
mereka buta huruf.
Sehingga keberadaan ilmu
pengetahun pada waktu itu masih belum dapat menjamin terbongkarnya
informasi-informasi ilmiah yang dapat dijadikan sebagai fakta-fakta di dalam
mengungkapkan ilustrasi-ilustrasi ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam
al-Qur’an al-Karim. Dimana al-Qur’an hanya menyajikan garis besarnya saja, dan
akal diperintah untuk mencari perinciannya dengan memperhatikan rumus, isyarat
atau contoh-contoh yang ada, khususnya dalam hal ini mengenai sains. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat al-‘Ankabût [29] ayat 43.
Al-Qur’an sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, adalah merupakan peletak dasar kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK). Dalam kaitan ini, Syamsul Arifin menyatakan bahwa
al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang utama, dan ia telah banyak
memberikan informasi, di samping sebagai petunjuk kepada manusia cara
memperoleh ilmu pengetahuan.
Hal ini dapat dipahami secara
lafzhi dari beberapa ayat yang mengisyaratkan agar al-Qur’an dijadikan sebagai
sumber ilmu. Ayat-ayat tersebut selalu memakai kata-kata seperti ya’qilûn,
yudabbirûn, yatafakkarûn, dan lain sebagainya. Begitu pula ketika al-Qur’an
mengisyaratkan untuk menjadikan alam semesta, diri manusia maupun sejarah,
dipakai kata-kata seperti yanzhuru, yafqahu, yatadzakkaru, dan sebagainya. Di
samping itu, cara memperoleh pengetahuan al-Qur’an juga dapat dipahami melalui
konteks ayatnya.
2. 2. Kedudukan Wahyu dan Akal Dalam
Islam
Akal dalam pengertian Islam adalah
daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang memperoleh
pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Pengertian inilah yang
dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia.
Akal menjadi faktor utama yang
menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih mulia dibandingkan makhluk Allah
lainnya. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga
terwujud kebudayaan.
Alquran menempatkan akal pada posisi
penting dengan banyaknya ayat yang mendorong manusia menggunakan akalnya dalam
berbagai ungkapan antara lain dengan menggunakan kata madzara, tadabbara,
tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan
tersebut mengandung isyarat penempatan akal sebagai faktor yang penting dalam
kehidupan seorang muslim. Akal membawa manusia kepada posisi subyek di tengah
alam semesta dan menempatkannya sebagai penguasa (khalifah) yang mampu
mengelola dan mendayagunakan alam.
Dalam Islam, akal memiliki posisi
yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa
batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan
syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan wahyu baik berupa Al-qur’an dan
Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan
wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa
mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau
khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal,
bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu
kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut
kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu
yang berupa Alqur’an dan As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang
waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara
wahyu dan akal, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya
mempercayai wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah terhadap orang yang
terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu
benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu
wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah
untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk
suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman
untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan
buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang
akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena masalah akal dan wahyu dalam
pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua
akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan,
tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik
dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari
yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara
lain:
1.Aliran Mu’tazilah sebagai penganut
pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan
mengetahui empat konsep tersebut.
2. Sementara
itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran
kalam tradisional, mengatakan juga (kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan
yang buruk) akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
3.Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai
penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu
mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih
kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan
menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
4. Sementara
itu aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam
pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk
hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan
dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah, dan
terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat Al
-Ghaasyiyah ayat 17 dan surat Al - A’raaf ayat 185:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan.Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit
dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah
dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman
selain kepada Alqur'an itu?”
2.3.Fungsi dan Peran wahyu dan akal
A.
Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata
Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an
hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون)
24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون)
22 ayat, kata-kata itu memiliki arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil
arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk
membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuannya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql
di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical
intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan
memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah.
Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan
berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: “Suatu
daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan
manusia dari mahluk lain.”
Akal memiliki kedudukan yang penting
dalam ajaran Islam, bahkan dijadikan sebagai dasar dan sumber hukum setelah
Alquran dan Hadits. Akal sebagai dasar, disebut ar-ra'yu, yang dilakukan
melalui ijtihad. Dorongan penggunaan akal dalam Islam melahirkan kemajuan
peradaban Islam dalam berbagai bidang, terutama dalam hal perkembangan
kajian-kajian ilmu pengetahuan dan filsafat serta ilmu-ilmu keislaman, seperti
tafsir, fiqih, dan sebagainya.
B. Fungsi Akal
1. Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku
yang benar.
3. Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal,
karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang
mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan
meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan pada akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat
dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
C. Kekuatan
Akal
1.Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
1.Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2. Mengetahui adanya kehidupan di
akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di
akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran
tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui kewajiban berbuat
baik dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di
akhirat.
6. Membuat hukum-hukum yang membantu
dalam melaksanakan kewajiban tersebut.
D. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab الوØÙŠ, dan al-wahy
adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti
suara, api, dan kecepatan. Dan ketika al-wahyu berbentuk
masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu
sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang
terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul
wahyu Allah terhadap Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Wahyu turun kepada nabi-nabi melalui
tiga cara, yaitu dimasukkan langsung ke dalam hati dalam bentuk ilham, dari
belakang tabir, dan melalui utusan dalam bentuk malaikat. Hal ini diungkapkan
dalam firman Allah swt. surah As-Syura ayat 42 yang artinya: "Tidak
terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari
belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk mewahyukan apa
yang Ia kehendaki dengan seizin-Nya. Sungguh Ia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana." Wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. melalui cara
yang ketiga, yaitu melalui utusan dalam bentuk malaikat Jibril.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut
Tauhid berpendapat bahwa, “Wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan
oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang
dari Allah SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara, ataupun yang
menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.”
Wahyu berfungsi memberi informasi
bagi manusia. Yang dimaksud memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu
manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal
tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan
hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak
langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya untuk melindungi
diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaanya.
Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.
1. Wahyu ada
karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2. Wahyu lebih condong melalui dua
mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Membuat
suatu keyakinan pada diri manusia.
4. Untuk memberi keyakinan yang penuh
pada hati tentang adanya alam ghaib.
5. Wahyu turun
melalui ucapan para nabi-nabi.
2.
4. KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ILMU DALAM ISLAM
Akal menghasilkan ilmu, dan ilmu
berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Agar dapat dipelajari dengan baik
dan benar. Sebagian klasifikasi ilmu itu asli dan berpengaruh, tetapi sebagian
lagi hanyalah pengulangan klasifikasi sebelumnya yang kemudian dilupakan orang.
Pada massa Al-Farabi, Al-Gazali, Qutubuddin telah berhasil mengklasifikasikan
ilmu Islam menjadi beberapa bagian. Ketiga tokoh tersebut adalah orang- orang
pendiri terkemuka aliran intelektual dan mereka tumbuh dan berkembang dalam
periode-periode penting sejarah Islam. Adapun mereka telah mengklasifikasikan
menjadi beberapa bagian, yakni :
1.Menurut Al-Farabi, perincian
klasifikasinya yakni sebagai berikut :
a) Ilmu Bahasa
b) Ilmu Logika
c) Ilmu Matematis
d) Metafisika
e) Ilmu Politik, Ilmu Fiqih dan Ilmu
Kalam
2.Menurut Al-Gazali, perincian
klasifikasinya yakni sebagai berikut :
a) Ilmu teoritis dan ilmu praktis
Ilmu teoritisadalah ilmu yang
menjadikan keadaan-keadaan yang wujud diketahui sebagaimana adanya. Ilmu
praktisberkenaan dengan tindakan-tindakan manusia untuk memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
b) Ilmu yang dihadirkan dan ilmu yang
dicapai
Ilmu yang dihadirkanadalah
bersifat langsung, serta merta, suprarasional (diatas atau diluar jangkauan
akal), intuitif (berdasar bisikan hati), dan kontemplatif (bersifat renungan).
Dia biasa menyebut dengan ilmu ladunniIlmu yang dicapaiadalah ilmu yang dicapai
oleh akal pikiran manusia (ilmu insani).
c) Ilmu keagamaan dan ilmu
intelektual
Ilmu keagamaanadalah ilmu-ilmu
yang diperoleh dari para nabi, tidak hadir dari akal pikiran manusia biasa.Ilmu
intelektual adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperolek melalui kemampuan
intelek (daya atau kecerdasan berpikir).
d) Ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu
kifayah
Ilmu fardu ‘ainmerujuk pada
kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah.Ilmu fardu
kifayahlebih kepada hal-hal yang merupakan perintah ilahi yang bersifat
mengikat komunitas ( kelompok orang ) muslim dan muslimat menjadi satu
kesatuan.
Menurut Al-Qur’an ilmu dibagi
menjadi 2, yaitu :
a. Ilmu ladunni, yakni ilmu yang
diperoleh tanpa upaya manusia.
b. Ilmu insani, yakni ilmu yang
diperoleh karena usaha manusia.
Pembagian ilmu kedalam 2 golongan
ini dilakukan karena menurut Al-Qur’an ada hal-hal yang ada tetapi tidak
diketahui manusia, ada pula yang wujud yang tidaktampak. Ditegaskan dalam
Al-Quran antara lain dalam firmanNya pada surat Al-Haqqah ayat 38-39 yang
artinya:
“ Maka Aku bersumpah dengan apa
yang kamu lihat dan dengan yang tidak kamu lihat.”
Dari kalimat terakhir jelas bahwa
obyek Ilmu ada 2 yakni : materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan
ada yang wujud yang jangankan dilihat diketahui manusia saja tidak.Dari
kutipan-kutipan ayat-ayat diatas jelas bahwa pengetahuan manusia hanyalah
sedikit, dan telah diregaskan oleh Allah dalam firmanNya:
“ kamu tidak diberi ilmu (pengetahuan
) kecuali sedikit.”( Q.S 17 : 85 ).
Walaupun sedikit namun manusia
harus memanfaatkannya untuk kemaslahatan manusia.Al-Qur’an memerintahkan
manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Disamping itu
perlu dikemukakan bahwa manusia memiliki naluri haus pengetahuan, sebagaimana
telah dikemukan Rasulullah dalam sebuah hadistnya :
“ Ada 2 keinginan yang tidak
pernah terpuaskan yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan mencari harta”
Yang perlu diusahakan adalah
mengarahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kemaslahatan
hidup, bukan untuk merusak dan membahayakan umat manusia. Pengarahnya adalah
agama dan moral yang selaras dengan ajaran agama. Disinilah letak hubungan
antara agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi ( iptek ) yang bersumber dari akal dan penalaran
manusia.
2. 5. Kewajiban mencari ilmu
Pada dasarnya kita hidup didunia
ini tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Tentunya beribadah dan
beramal harus berdasarkan ilmu yang ada di Al-Qur’an dan Al-Hadist. Tidak akan
tersesat bagi siapa saja yang berpegang teguh dan sungguh-sungguh perpedoman
pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Disebutkan dalam hadist,
bahwasanya ilmu yang wajib dicari seorang muslim ada 3, sedangkan yang lainnya
akan menjadi fadhlun (keutamaan). Ketiga ilmu tersebut adalah ayatun muhkamatun
(ayat-ayat Al-Qur’an yang menghukumi), sunnatun qoimatun (sunnah dari Al-hadist
yang menegakkan) dan faridhotun adilah (ilmu bagi waris atau ilmu faroidh yang
adil)
Dalam sebuah hadist rasulullah
bersabda, “ mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan orang yang
meletakkan ilmu pada selain yang ahlinya bagaikan menggantungkan permata dan
emas pada babi hutan.”(HR. Ibnu Majah dan lainya)
Juga pada hadist rasulullah yang
lain,”carilah ilmu walau sampai ke negeri cina”. Dalam hadist ini kita tidak
dituntut mencari ilmu ke cina, tetapi dalam hadist ini rasulullah menyuruh kita
mencari ilmu dari berbagai penjuru dunia. Walau jauh ilmu haru tetap dikejar.
Dalam kitab “ Ta’limul muta’alim”
disebutkan bahwa ilmu yang wajib dituntut trlebih dahulu adalah ilmu haal yaitu
ilmu yang dseketika itu pasti digunakan dal diamalkan bagi setiap orang yang
sudah baligh. Seperti ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Apabila kedua bidang ilmu itu
telah dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu lainya, misalnya ilmu kedokteran,
fisika, matematika, dan lainya.
Kadang-kadang orang lupa dalam
mendidik anaknya, sehingga lebih mengutamakan ilmu-ilmu umum daripada ilmu
agama. Maka anak menjadi orang yang buta agama dan menyepelekan
kewajiban-kewajiban agamanya. Dalam hal ini orang tua perlu sekali memberikan
bekal ilmu keagamaan sebelum anaknya mempelajari ilmu-ilmu umum.
Dalam hadist yang lain Rasulullah
bersabda, “sedekah yang paling utama adalah orang islam yang belajar suatu ilmu
kemudian diajarkan ilmu itu kepada orang lain.”(HR. Ibnu Majah)
Maksud hadis diatas adalah lebih
utama lagi orang yang mau menuntut ilmu kemudian ilmu itu diajarkan kepada
orang lain. Inilah sedekah yang paling utama dianding sedekah harta benda. Ini
dikarenakan mengajarkan ilmu, khususnya ilmu agama, berarti menenan amal yang
muta’adi (dapat berkembang) yang manfaatnya bukan hanya dikenyam orang yang
diajarkan itu sendiri, tetapi dapat dinikmati orang lain.
2. 6. Pengertian dan Metode Dakwah
Islam
Dakwah secara harfiyah artinya
ajakan atau seruan, yaitu ajakan ke jalan Tuhan (Allah SWT). Asal kata dakwah
adalah da'a-yad'u-da'wah yang artinya mengajak atau menyeru.
Secara istilah, dakwah bermakna
ajakan untuk memahami, mempercayai (mengimani), dan mengamalkan ajaran Islam,
juga mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran (amar ma'ruf nahyi
munkar)
Ayat-Ayat Al-Quran berikut ini
menunjukkan pengertian dakwah sebagai ajakan ke jalan Allah SWT (syariat
Islam), ajakan kepada kebaikan, serta mencegah kemunkaran atau kebatihan.
"Serulah (manusia) kepada
jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang lebih baik". [QS. An-Nahl:125].
"Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang
shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri". [QS. Fushshilat:33].
"Dan hendaklah ada dari kamu
satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [QS.
Ali Imran:104].
"Dan janganlah sekali-kali
mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah
ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu, dan
janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Rabb". [QS. Al Qashshash:87].
"Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". [QS. Ali Imran:110].
Metode Dakwah
Metode atau cara dakwah juga
tergambar dalam ayat di atas, yakni dalam QS. An-Nahl:125, yaitu dengan (1)
hikmah, (2) pelajaran yang baik, dan (3) bantahlah (argumentasi) yang lebih
baik.
Dari ayat ini kemudian para ulama
memberikan tafsiran dan pengembangan tentang metode dakwah sebagai berikut:
1. Dakwah Fardiah
Dakwah Fardiyah adalah dakwah yang dilaksanakan oleh
pribadi-pribadi kaum Muslim dengan cara komunikasi antarpribadi, one to one,
seseorang kepada orang lain (satu orang), atau seseoreang kepada beberapa orang
dalam jumlah yang kecil dan terbatas.
Biasanya dakwah fardiah terjadi
tanpa persiapan. Termasuk kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman
sekerja, teguran, ajakan shalat, mencegah teman berbuat buruk, memberikan
pemahaman tentang Islam kepada seseorang, dll.
2. Dakwah Ammah
Dakwah Ammah adalah metode dakwah
yang umum dilakukan oleh seorang juru dakwah, ustadz, atau ulama. Biasanya
berupa komunikasi lisan (pidato, ceramah, tausiyah, khotbah) yang ditujukan
kepada orang banyak.
3. Dakwah Bil Lisan
Dakwah Bil Lisan yaitu metode
dakwah melalui perkataan atau komunikasi lisan (speaking), seperti ceramah,
khotbah, atau dialog.
4. Dakwah Bil Hal
Dakwah Bil Hal disebut juga Dakwah
Bil Qudwah, yaitu metode dakwah melalui sikap, perbuatan, contoh, atau
keteladanan, misalnya segera mendirikan sholat begitu terdengar adzan, membantu
kaum dhuafa atau fakir-miskin, mendanai pembangunan masjid atau membantu
kegiatan dakwah, mendamaikan orang yang bermusuhan, bersikap Islami, dll.
5. Dakwah Bit Tadwin
Dakwah Bit Tadwin disebut juga
dakwah bil qolam dan dakwah bil kitabah, yaitu metode dakwah melalui tulisan,
seperti menulis artikel, buku, menulis di blog, status di media sosial, dll.
6. Dakwah bil Hikmah
Dakwah bil hikmah artinya dakwah
dengan bijak, persuasif, dan sesuai dengan kondisi atau keadaan objek dakwah
(mad'u). Dakwah bil Hikmah merangkum semua metode dakwah sebelumnya. Dakwah Bil
Hikmah bisa dipahami sebagai dakwah yang sesuai dengan tuntutan zaman, tuntutan
kebutuhan, atau sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga efektif.
7. Dakwah yang Lembut
Risalah Islam juga mengajarkan
metode dakwah dari segi cara penyampaian, yaitu dengan lemah-lembut.Islam
mengajarkan umatnya agar bersikap lemah-lembut dalam berdakwah atau mengajak
kebaikan. Rasulullah Saw dikenal kelemah-lembutannya dalam mengemban risalah Islam.
Karena sikap lemah-lembut beliau itu pula Islam memiliki daya tarik sangat
kuat, sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran:
“Maka disebabkan rahmat dari
Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(QS. Ali Imran: 159).
Bahkan, menghadapi orang seburuk
Fir’aun pun, Allah Swt memerintahkan sikap lemah-lembut.
“Pergilah kamu berdua kepada
Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat dan
takut.” (QS. Thaha:43-44).
“Maka disebabkan rahmat dari
Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
(Qs. Ali Imran: 159).
“Sesungguhnya tidaklah
kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya dan
tidaklah kelemah-lembutan itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan
memperburuknya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, Islam mengajarkan
cara damai, sopan, santun, etis, dan menyenangkan. Islam tidak mengajarkan
kekerasan, sikap kasar, ataupun menyakiti orang lain. Islam hanya menegakkan
kekerasan dalam dua hal: perang dan penegakkan hukum.
2.
7. Pengertian Etika Komunikasi
Dalam kehidupan bermasyarakat
terdapat suatu sistem yang mengatur tentang tata cara manusia bergaul. Tata
cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan sebutan sopan
santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain.
Tata cara pergaulan bertujuan
untuk menjaga kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang,
tentram, terlindungi tanpa ada pihak yang dirugikan kepentingannya dan
perbuatan yang dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum.
Tata cara pergaulan, aturan
perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan menentukan nilai baik
dan nilai tidak baik, dinamakanetika.Istilah etika berasal dari
kataethikus(latin) dan dalam bahasa Yunani disebutethicosyang berarti kebiasaan
norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik dan buruk
tingkah laku manusia.
Jadi, etika komunikasi adalah
norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kemajuan IPTEK merupakan tantangan
yang besar bagi kita. Apakah kita sanggup atau tidak menghadapi tantangan ini
tergantung pada kesiapan pribadi masing-masing.
Diantara penyikapan terhadap
kemajuan IPTEK masa terdapat tiga kelompok,yaitu: (1) Kelompok yang menganggap
IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK
moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Quran yang sesuai; (2) Kelompok yang
bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan
filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak islami, (3)
Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan berusaha membangunnya.
Perkembangan iptek adalah hasil
dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan
mengembangkan iptek.Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang
utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan
Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kedua,
menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah
Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya
dijadikan tolak ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek.
Adapun dampak negatif maupun
positif dalam perkembangan iptek, Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan
perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain
sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi
kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya
telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk
di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Munawar, Said Aqil, 2002.Al-Quran Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press.
Shihab, Quraish, 1999.Mukjizat
Al-Quran. Bandung: Mizan.
Aditya warman,
irfan. 2011.Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http://baroedakunibba.blogspot..com
/26Januar 2011.
Sa’aduddin, Nadri.Proletar:Masa Kejayaan Islam Pertama.
http://www.mail-archive.com /.
Samantho, Y.Ahmad.IPTEK dari Sudut Pandang Islam.
http://ahmadsamantho.wordpress.co m /.
Hafidz.Kegemilangan IPTEK di Masa Khilafah Abbasiyah.
http://sobatmuda.multiply.com
Solihin, O.Sejarah Kejayaan Islam. http:// gaulislam.com.
Yahya, Harun. Islam:Agama yang Berkembang Paling Pesat di
Eropa. www.harunyahya.com
Jangan cuma copas brad!
ReplyDelete