Posted by : Unknown October 13, 2016



 Cerpen yang baru saya tulis awal tahun 2016 ini saya ikut sertakan dalam lomba, namun seperti biasa, belum dapat memperoleh juara. Hehe Tak apa, bilamana engkau menyukainya, maka kau tak akan mengharapkan imbalan ^.^

            Cinta tak datang tiba-tiba, ia mengalir seperti air dari hulu hingga ke hilir. Ada yang perlahan tapi pasti, ada yang tergesa-gesa tapi berhenti di tengah jalan, dan ada pun yang meliak-liuk mengikuti aliran sungai nan deras. Cinta itu memiliki proses, terkadang proses itu sangat cepat hingga kita menganggap bahwa cinta datang tiba-tiba.
            Aku tengah membuka album tua yang penuh debu, album ini kupungut dari dasar tumpukan buku-buku di kamarku. Sampulnya berwarna merah muda, ada sebuah tulisan di halaman pertamanya, saat kubaca tulisan tersebut, sangat mengingatkanku akan sosoknya, aku selalu memikirkannya meski ia jauh di sana.
Ð
            Semenjak perceraianku dengan Shiene, aku banyak membuang waktuku untuk hal buruk. Yah, seperti pergi ke Club malam, menghabiskan beberapa gelas Bir maupun Koktail, hingga adu jotos dengan seseorang yang menabrakku saat berjoget ria. Yang kulakukan hanyalah mencoba mencari sesuatu yang hilang, tapi entah apa itu.
            Hingga suatu hari aku memutuskan untuk meninggalkan segalanya. Aku berhenti bekerja sebagai fotografer sekaligus pemilik studio foto yang sudah kubangun bertahun-tahun. Rumah pemberian almarhumah ibuku pun sudah kujual kepada sepupuku, Riana.
            "Kamu yakin, ingin menjual rumah pemberian mamahmu?" tanya Riana.
            "Yakin, mamah pasti lebih senang bila rumah itu kamu yang urus. Lagipula aku ingin pergi, ada sesuatu yang ingin kucari."
            "Pergi ke mana? Jangan membuatku cemas, deh. Kamu sudah aku anggap adikku sendiri, Bim." Riana berkata seraya menepuk bahuku.
            Riana adalah satu-satunya sepupu yang seumuran denganku, Riana anak dari Om Bram, kakak almarhumah ibuku yang merupakan lima bersaudara. Kami sangat dekat, karena kelahiran kami hanya selang satu bulan dan sejak bayi kami dibesarkan bersama.
            "Seperti saat kita berumur lima tahun, aku mencarikan kalungmu yang hilang, hingga orang tua kita mengira bahwa aku telah diculik. Aku pasti pulang, meski itu memakan waktu lama, aku pasti menemukannya. Jangan cemas."
            "Baiklah, Bim. Kamu tahu kan kemana kamu harus pulang?" Riana tersenyum mengatakannya.
            Aku pun membalas senyumannya, "tentu", jawabku yang segera pamit meninggalkan kediaman Om Bram malam itu.
            Entah malaikat atahukah iblis yang tengah merasuki pikiranku. Aku menjual semua barang di rumah kecuali buku-buku yang ada di perpustakaan kecil samping kamar tidurku. Lalu aku pergi ke pelosok-pelosok daerah untuk menyumbangkan buku-buku yang sudah kukumpulkan semenjak sekolah dasar.
            Aku memang gemar membaca semenjak kecil, terutama buku yang memiliki cover menarik nan unik. Entah apa isinya, pada saat kecil aku sangat tertarik dengannya, meskipun baru kusadari bahwa buku yang kubeli saat sekolah dasar adalah buku mitologi, filsafat, dan berbagai macam novel.
            Entah bagaimana jalan pikiranku saat itu, anak sekolah dasar tertarik dengan buku tua seperti Aristoteles, Dewa Zeus, Lucifer, Agatha Christie, racun sianida, seorang penjaga waktu, ujung dunia seperti apa, dan apa itu cinta?
            “Pak Bimo! Pak Bimo!” Seruan lembut yang bersumber dari seorang wanita menyadarkanku.
            “Oh iya, Bu Resti. Ada apa?”
            “Mohon maaf, Pak. Buku yang ingin Bapak sumbangkan ada di mana, yah? Biar saya ambil.”
            Sekarang aku ada di perpustakaan swadaya LuhuTimur, Sulawesi Selatan. Perpustakaannya tidaklah besar, namun manajemennya cukup bagus. Resti adalah salah satu aktifis yang membangun perpustakaan ini, aku mengenalnya lewat internet. Oleh karena itu aku jauh-jauh datang ke sini untuk menyumbangkan buku-bukuku.
            “Oh iya! Ada di mobil saya, sebentar. Saya saja yang mengambilkannya.”
            Aku segera membuka bagasi mobil dan mengangkat satu kardus yang berisikan buku-buku yang akan disumbangkan. Kemudian membawanya ke dalam perpustakaan. Kulihat ada beberapa anak kecil yang tengah membaca buku di sana, dan ada satu anak yang tengah belajar membaca dengan Resti. Karena melihatnya sedang sibuk, kuputuskan untuk menaruh saja kardus yang berisikan buku-buku. Kemudian mendekatinya untuk melihat anak kecil itu membaca.
            “B ..., U, Bu. K ..., U, Ku. Bu―Ku. Buku.” Lantunan lembut dari Resti.
            “Bu ..., Ku. Buku.” Balas anak kecil itu.
            “Ayo Zella coba sendiri.”
            Awalnya anak kecil itu terdiam, kemudian memberanikan diri berbicara, “Beu―Kau,” yang menghasilkan ekspresi bingung dari Resti.
            Anak kecil yang dipanggil Resti dengan sebutan ‘Zella’ itu nampak murid sekolah dasar, dan juga tidak terlalu kecil. Di tempatku Makasar, anak seumuran dengan dia seharusnya sudah bisa membaca. Aku yang geram memutuskan untuk bertanya.
            “Apa memang kalau di sini anak seumuran dengan dia banyak yang belum bisa membaca, Bu Resti?”
            “Tidak juga, Pak. Zella memang agak kurang, guru SD-nya saja menyerah mengajarinya. Tapi malah dinaikan ke kelas tiga. Saya kasihan sama dia, ingin dia bisa membaca.” Tutur Resti.
            Setelah mendengar penuturan dari Resti kemudian kupandangi anak kecil tersebut. Ia hanya mengangkat alisnya jenjang, menandakan kebingungan, namun mukanya datar tidak ada ekspresi lain. Melihat itu aku pun bertanya.
            “Apa Zella tahu, apa itu buku?”
             Zella kembali memberikan ekspresi kebingungan. Selang beberapa saat ia menggeleng kepala dengan ekspresi datar. Kemudian aku menatap jauh ke dalam matanya. Perasaan tidak enak dan geram yang tiba-tiba timbul dalam hatiku membuatku bingung.
            “Bu Resti, apa orang tua dari anak ini masih hidup?”
            “Masih, Pak. Tapi mereka entah pergi ke mana. Mohon maaf, orang tuanya ini nggak bener. Ibunya biduan yang tak tahu kapan pulang, sedangkan Ayahnya ini pemabuk, semua orang kampung tahu hal ini. Dan Zella kini hanya tinggal bersama neneknya, neneknya pun sudah tunarungu.” Tutur Resti sambil berbisik.
            Mendengar itu perasaanku pun semakin geram. Kemudian aku kembali mendekati anak yang bernama Zella ini lalu memberikan tangan dengan jari telunjuk yang berdiri.
            “Zella, ini berapa?”
            “Satu,” ia langsung menjawab dengan wajah datar.
            Aku mengusap kepala Zella, dan ia memasang ekspresi bingungnya, aku hanya membalas dengan senyuman penuh semangat. Kemudian aku mengedarkan pandanganku yang ternyata anak-anak lainya memandangku keheranan.
            “Bu Resti,”
            “Iya, Pak Bimo.”
            “Aku akan mengangkat anak ini menjadi anakku.”
Ð
            Setelah hari dimana aku memutuskan untuk mengangkat Zella menjadi anakku. Aku selalu datang ke perpustakaan ataupun bertemu Zella di rumah neneknya. Aku pun menjelaskan kepada Resti dan Nek Mutiara yang merupakan nenek dari Zella, bahwasanya Zella tidak mengidap keterbelakangan mental, melainkan kurang diberi sosialisasi.
            "Zella itu anak baik." Ujar Nek Mutiara yang tengah aku jelaskan kondisi cucunya.
            Zella sejak batita tidak mendapatkan sosialisasi baik dari orang tuanya ataupun keluarga lainya. Orang tuanya yang pergi entah ke mana, keluarga yang masih peduli hanyalah Nek Mutiara. Namun karena keterbatasannya, Zella kembali tidak mendapatkan sosialisasi.
            Sosialisasi yang dibutuhkan anak mulai dari pengenalan akan dirinya, seperti organ tubuh, nama-nama, tata cara makan, arah kanan dan kiri, hingga terhadap lingkungannya, teman, guru, pak RT, pelajaran dan lain sebagainya.
            "Biemo ..., Bimo, Zeella,"
            Setelah beberapa pekan itulah yang dapat Zella katakan. Sungguh menyentuh, perkataan yang keluar dari mulut mungil anak ini, lebih membuatku bahagia daripada ucapan ‘sah’ dari penghulu pada saat aku berhasil melafalkan ijab qobul.
            "Zella pandai." Sambil Kuusap kepala Zella yang membuatnya lebih releks dan nyaman.
            Zella sudah kuanggap seperti anakku sendiri, kepengurusan adopsi pun dalam proses. Aku yang memilih untuk membeli rumah di LuhuTimur dengan sisa uang yang kumiliki agar bisa dekat dengannya adalah keputusan yang paling benar yang pernah aku lakukan.
            "Apa yang membuat Pak Bimo ingin mengangkat Zella sebagai anak Bapak?" Pertanyaan itu melayang dari mulut Resti penuh dengan rasa penasaran.
            "Jawabanya, simpel. Aku geram melihat ciptaan Tuhan yang paling indah itu malah dibuang oleh orang tuanya, sedangkan ...," aku berhenti sejenak guna mengambil nafas dalam kemudian melanjutkan kembali perkataanku, "sedangkan, aku malah menceraikan mantan istriku Shiene karena ia tidak bisa memberiku keturunan."
            Resti tidak mengatakan apapun. Aku pun hanya bisa mengusap-usap kepala Zella yang tengah makan Coto Makassar tanpa kepedesan dengan ekspresi datar. Anak ini memang kuat makan pedas, seperti halnya aku yang diturunkan oleh Ibuku.
            "Aku agak menyesal," ucapku sebelum Resti yang bertanya, "tapi tidak mungkin bisa diulangi lagi." Aku sedikit mengedarkan pandanganku ke luar jendela rumah makan depan sekolah dasar tempat Zella mengeyam pendidikan.
            "Kenapa begitu?" tanya Resti kembali penasaran.
            Aku tertegun tidak bisa menjawab, dan malah memeluk Zella. Ia kembali mengeluarkan ekspresi bingungnya. Memang Zella hanya tahu ekspresi bingung dan datar yang khas dengan wajah polos yang dimiliknya. Karena tidak pernah diberitahukan ekspresi lainya.
            Seperti pada saat Ia masih berusia lima tahun, Zella pernah ditampar oleh ayahnya, namun yang membuatku miris adalah Zella yang berekspresi datar dengan bercucuran air mata. Ia lupa dengan ekspresi menangis sedih ataupun takut, karena ia hanya mengalaminya saat bayi. Aku mendengar cerita itu dari Nek Mutiara yang sambil mengunyah gincu.
            Namun, ekspresi bingungnya itu membuatku terhibur dan memberikan semangat untuk bangkit. Bahwa hidup, bukanlah untuk terus bersedih. Melainkan hidup adalah ajang untuk menebarkan cinta dan kasih sayang meskipun orang lain atau pun dunia berlaku buruk kepada kita, dan meskipun kami tidak sedarah, tapi cinta bisa menghubungkan semua orang, termasuk kami.
Ð
            Cinta itu juga seperti tanaman. Tiap tanaman punya karakteristik yang berbeda-beda, kita harus bisa menganalisa dan memberikan penanganan yang terbaik. Begitupun cinta ataupun anak, kita harus benar-benar tahu apa yang ia butuhkan untuk tumbuh, cara perawatan yang mana yang cocok untuknya, jangan mendeskriminasi ia dengan keegoisan kita, bagaimana pun, ia adalah harta paling berharga yang diturunkan oleh Tuhan.
            Sekarang aku tengah membuka album tua yang penuh debu, album ini kupungut dari dasar tumpukan buku-buku di kamarku. Sampulnya berwarna merah muda, ada sebuah tulisan di halaman pertamanya, saat kubaca tulisan tersebut, sangat mengingatkanku akan sosoknya, aku selalu memikirkannya meski ia jauh di sana. Tulisan itu bertuliskan ‘Cinta Tak Sedarah’.
            “Ayah, aku sudah sampai Jogja. Di sini ramai, Yah. Aku bakal suka kuliah di sini.” Suara dari balik telepon yang membuat hidupku berubah, meski sedikit tapi berarti.
~ Selesai ~

{ 1 komentar... read them below or add one }

Yang nggak komen istrinya brewokan! :v

Instagram

- Copyright © 2013 Blog Zqyu White - Hataraku Maou-sama! - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -