Posted by : Unknown
January 10, 2017
Cerpen setelah menulis novel keroyokan tapi belum dipublikasikan. Setelah menulis cerpen ini saya sadar, bahwa gue keren bahwa saya nggak bisa nulis genre thiller T.T
“Hujan
Tak Selamanya Air”
Kuayunkan
payung merah pemberian ibuku itu sekuat-kuatnya kearah bahu kiri wanita yang
tengah mengenakan gaun malam, cukup mengoda tiap mata lelaki yang melihatnya.
Braakk!!
Wanita
itu terhuyung kesana―kemari, terlihat menyedihkan, lemas tak berdaya setelah
tulang humerus-nya aku patahkan.
Kemudian kuayunkan lagi payung terkutuk ini kearah wajah cantiknya.
Braakk!!
Hantaman
kuat itu sudah cukup mengakhiri hidupnya, pikirku.
***
“Selamat
ulang tahun, Robert!” Ucap Ibuku riang sambil memberikan sebuah payung merah
dengan pita aneh diatasnya.
Kuambil
payung itu lalu kuletakkan di samping meja belajarku.
“Ini
payung ibu yang beli?”
“Tidak,
ibu dapat dari pelanggan ibu. Katanya itu payung mahal, tapi majikannya malah
ingin membuang itu. Jadi..., daripada di buang, mending ibu ambil.”
“Ibu!
Sudah kubilang berhenti dari pekerjaan kotor itu! Aku tidak suka!” Aku bangkit
dari tempat duduk.
Kurasakan
tangan halus ibuku mengelus-elus rambutku. Mataku terasa perih, berat batinku
menerima pekerjaan ibuku. Kemudian kurebakan kembali tubuhku diatas kursi kayu
dengan busa empuk yang mulai kehilangan masa jayanya.
“Maafkan
ibu, Robert.” Ia memelukku dan membisikan kata-kata itu dengan nada lirih.
Tiada
yang bisa kulakukan ketika air mata ini mulai turun perlahan membasahi pipi.
Aku tau, ibuku jauh lebih bersedih atas ini, namun egoku menolak untuk
mengalah.
***
‘Namaku Rohman Bertnaldhi, umurku 6 tahun,
cita-citaku menjadi orang kaya, agar ibuku tidak bekerja lagi.’
Kulihat tulisan kecil itu dibalik fotoku. Foto itu diambil saat wisuda Taman
Kanan-kanak. Saat itu ibuku, Juliana tidak bisa hadir karena sedang operasi
pengangkatan rahim, sebelas―tahun lalu. Rahim ibuku diangkat karena adanya
indikasi daging hidup yang menempel di dindingnya. Bukan janin, bukan juga
tumor, apalagi kanker.
“Robert...,
ibu berangkat.”
Perkataan
itu menghamburkan lamunanku. Berat rasanya tiap kali kudengar perkataan itu
pada malam hari diatas pukul dua―puluh―dua.
***
“Jangan!
Jangan kau lakukan!”
Kuhiraukan
perkataan wanita yang pipinya tengah memar oleh hantaman payungku. Lalu
kuayunkan kembali payungku dari arah kiri, berniat menghantam pinggang dan
perut wanita itu.
“Kumohon...,
aku tengah hamil!”
Perkataan
itu membuatku menghentikan gerakanku, pikiranku termenung sejenak, keringatku
mulai bercucuran, dan jantungku berdenyut begitu kencang. Kucoba pandangi wajah
wanita itu. Mantanya sayu namun penuh pengharapan, dengan air mata yang siap
tumpah seketika.
Kugenggam
erat pegangan payungku dan berbalik, kemudian berlari sekencang mungkin
meninggalkan gang sepi di belakang
diskotik yang tengah sepi pengunjung itu. Nafasku mulai tidak karuan, amarahku
tertahan namun ingin tumpah!
Bruuk!
Tak
terasa aku menabrak bahu kokoh seorang pria dewasa yang wajahnya nampak merah.
Ia mengerutkan bibir dan menajamkan matanya tanda kesal. Melihat pria itu
keluar dari diskotik yang menjadi lahan para kupu-kupu malam dan laki-laki
hidung belang bercampur padu, membuatku menumpahkan amarah kepadanya!
***
Kurebahkan
tubuhku bersandar pada tiang listrik yang basah diguyur hujan, setelah kuhabisi
pria itu. Sungguh tangguh pria itu, tidak heran tubuhnya bisa sekokoh, pikirku
di tengah hujan deras yang membersihkan darah yang mengalir di tubuhku dan di
tubuh payung merah, pemberian ibuku ini.
Kubuka
payung itu, lalu kumeringkup di bawah payung yang cukup kokoh itu.
‘Payung mirip seperti ibu yang menyayangi
setiap anaknya. Ia melindungi pemiliknya dari jutaan air hujan yang menerpa,
tak peduli bila dirinya harus basah, berkarat, mau pun terlupakan. Asalkan
anaknya selamat, itu sudah cukup.’
Malam
itu dingin dan sunyi, sebelum suara deru langkah kaki mendekat. Membuatku yang
tengah meringkup guna menghangatkan diri pun segera bangkit dan berlari. Suara
langkah kaki itu pun semakin cepat, mengikutiku.
“Satu...,
dua...., tiga orang!”
Ternyata
tiga orang itu masih saja mengikutiku yang melak liuk di dalam gang sempit,
samping deretan diskotik dan club
malam yang biasa menjadi tempatku mengekspresikan kemarahanku terhadap dunia
dan pilihan hidup ibuku itu.
Dorr!!
Terdengar
seperti sebuah ledakan kecil yang berasal dari ketiga orang itu. Tak sadar
tiba-tiba aku terjungkal setelah besi panas itu mengenai kaki kanganku.
Benar-benar sakit! Kucoba bangkit namun sulit sekali tanpa kaki kananku, sempat
berfikir untuk menyerah saat salah satu dari ketiga orang itu menodongkan
senjata terkutuknya.
Senjata
dilawan senjata, pikirku.
Kubalik
menodongkan senjata merah yang terbuat dari besi, lalu kubuka payung itu dengan
penuh harap bahwa payung ini dapat melindungiku dari besi panas yang terbang
kearahku.
Dorr!!
Suara
itu terdengar lagi. Namun aku tidak merasakan salah satu bagian tubuhku
tertembus besi panas maupun tergoresnya. Kulihat payung merah yang tengah kujadikan
tameng ini tetap kokoh, tanpa lubang sedikitpun.
Dengan
bangga kuangkat payung itu lalu kusandarkan kebahu kananku yang tengah
bergemetar. Aku melihat sesosok wanita yang tengah berdiri di hadapanku, ia
memakai gaun malam yang indah, melebarkan tangannya layaknya pelindung bagiku.
Setelahnya, ia terduduk lemas, memegangi perutnya yang nampak banyak
mengeluarkan darah.
“Ibu,”
Hujan
semakin deras, dan angin pun ikut berhembus. Hembusan angin itu menerbangkan
payung merahku yang memang tak bisa kugenggam lagi. Aku telat menyadari bahwa
wanita itu adalah ibuku sendiri, ibu Juliana.
“Ibu,”
Air
mataku deras mengalir, tubuhku bergemetar hebat, tak bisa kugerakan tubuhku,
ingin rasanya kudekap dan kuhangatkannya. Namun langkah kaki itu semakin
mendekat dan semakin cepat, aku tidak pikir panjang, aku berlari menjauh
secepat-cepatnya, meninggalkan mereka. Kulihat dua diantaranya menahan ibuku,
dan satunya tetap berusaha mengejarku.
Dorr!!
Besi
panas itu mengenai lengan kiriku. Sungguh senjata yang mengerkan. Yang bisa
kulakukan hanyalah berlari mengejar payung merah yang menjadi satu-satunya
harapanku. Payung itu tengah terbang terbawa angin di bawah hujan yang deras.
Kukerahkan tenagaku untuk menggapainya, meski darah terus mengalir.
***
“17
tahun yah..., dapat payung.” Aku tersenyum sambil melihat-lihat payung
pemberian ibuku diatas kasur.
Kubuka
payung itu lalu kuperhatikan dengan seksama. Sepertinya terdapat beberapa nama
disana, banyak nama wanita tertulis di bagian dalam payung itu dengan warna
merah tintanya. Anehnya tak pernah terfikirkan olehku kala itu, bahwa nama-nama
wanita itu adalah nama para wanita yang pernah ditiduri oleh sang pemilik
payung, malah yang terlintas adalah nama para pemilk payung terdahulu.
“Ikutan
ah,” aku tersenyum sambil menuliskan namaku dengan spidol warna merah disamping
nama-nama yang lainya.
‘Robert J.’ Begitulah kutuliskan namaku
di bagian dalam payung itu.
***
Akhirnya
angin yang membawa pergi payungku telah menyerah dan kini payungku pun mendarat
di salah satu persimpangan jalan yang sepi. Suara tembakan itu pun tidak
terdengar lagi. Kupikir ini adalah kesempatan emas bagiku. Kupercepat lariku
dan kulambaikan tangan kananku kebawah tanda bersiap untuk mengambil payung
merah pemberian ibuku yang akan membalikan segalanya.
Ciiiittt!.... Braakk!!
Tubuhku
terpental tidak jauh bersamaan dengan payung itu. Kurasakan darah deras
mengalir dari kepadaku. Pening, lemas, dan perih kurasa. Seperti semua rasa
sakit yang kutumpuk tiba-tiba menimpaku begitu saja mengenai pikiran dan
hatiku.
“Tenang
saja, aku dokter,”
Suara
itu tersamarkan ditengah hujan deras malam itu. Yang kurasa malam itu hanyalah
hangatnya darahku yang terus keluar dan dinginnya aspal yang diguyur hujan.
“Fakultas
Kedokteran...,” aku mencoba membaca tulisan yang ada di jas lab pria yang
tengah mencoba menolongku itu.
Aku
mengedarkan pandanganku yang mulai buram, mencari dimana payungku berada, dan
akhirnya aku melihatnya. Tidak jauh dari tempatku berbaring sekarang. Mataku
mulai tertututp perlahan, kulihat payung indah itu dengan mata yang sayu-sayu.
“Robert
Juliana.”
Kata
terakhir yang bisa ku―ucapkan sebelum semuanya menjadi gelap.
***End***
test
ReplyDeletekereenn ^^
ReplyDeleteitu jaman dulu >.<
Delete