Posted by : Unknown
March 16, 2017
Pict from Greafton.com |
Duduk diam dalam satu ruangan ternyata tak semudah yang dikatakan, sibuk menebak pikiran masing-masing. Sibuk merangkai setiap kata untuk dijadikan satu kalimat tanya, yang pada akhirnya akan menimbulkan pertanyaan balasan. Pertanyaan yang sungguh akan semakin membuat suasana ini semakin canggung dengan kerumitan menyusun kalimat selanjutnya, selanjutnya dan seterusnya.
Dua anak manusia tengah sibuk dalam diamnya. Yang satu, dengan wajah lelah ditemani garis keriput yang tercetak jelas, tapi memiliki mata yang begitu teduh. dia hanya memandang punggung seseorang yang kini membelakanginya. Sedangkan yang satu lagi, wajahnya datar tak menampilkan ekspresi apapun tapi yang bisa terlihat jelas adalah matanya yang sama teduhnya dengan orang tadi. Dia tengah sibuk menggerakan jari-jari kurusnya di atas benda persegi dengan sederatan huruf dan angka, dia tengah mengetik sesuatu.
“besok berangkat kuliah?” pertanyaan ini sedikit mengagetkan si pengetik dari kegiatannya. Terdiam sesaat, hanya untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan sesorang yang berada di belakangnya. Sungguh ini merupakan pertanyaan mudah yang tak harus menunggu satu detik pun untuk menjawabnya.
“iya” tanpa menoleh dia menjawab pertanyaan itu, dan kembali menggerakan kesepuluh jari tangannya menari di atas keyboard.
Jika tak ada bunyi denting jarum jam yang kini tengah membentuk sudut 45 derajat, dan jika pula tidak ada suara hujan yang menghantam genting atap ruang keluarga ini, maka siapapun yang ada di ruangan yang sama akan mendengar jelas helaan nafas kecewa dari mulut seseorang yang satu menit lalu mengajukan pertanyaan.
Ingin mengajukan pertanyaan keduanya, tapi diurungkan kala mata teduhnya menatap jam dinding yang menggantung sudah menunjukan pukul sepuluh. Sembari bangun dari duduknya dengan kedua tangan menumpu di atas lutut, wanita itu berjalan mendekat ke arah perempuan muda yang sedari tadi Ia pandangi, walau hanya punggung sempit yang dilihat.
“ibu tidur dulu. Jangan terlalu sering begadang, tak baik buat kesehatan” dengan langkah ringan, wanita tua itu meninggalkan ruangan yang penuh dengan kediaman. Tapi siapa yang tahu, dalam langkahnya menuju kamar ada setetes cairan bening jatuh dari mata teduhnya. Tak ada yang tahu, begitupun dengan perempuan yang saat ini tengah memandang punggung ibunya. Sekali lagi, hanya punggung yang terlihat.
Perempuan muda ini tengah menunduk dengan mata terpejam, kedua tangan saling bertaut, dan bibir yang membuat sedikit gerakan abstrak tak terbaca. Dalam satu menit, kepala itu kembali berhadapan dengan layar komputernya, mata yang masih tetap terlihat teduh, dan kedua tangannya yang sudah kembali sibuk mengetik sesuatu. Hanya Tuhan yang tahu, apa yang perempuan muda ini bicarakan satu menit lalu.
***
Rumah bukanlah tempat yang dirindukan perempuan cantik dengan mata teduhnya ini, Karlina. Sedari kecil hidupnya selalu dipenuhi kasih sayang, tapi ketika beranjak dewasa dia sadar bahwa ada sesuatu yang salah dari segala perhatian itu.
Bebas ketika tidak ada lagi sanak saudara yang berada dekat dengannya. Dia begitu tidak menyukai hal-hal keramaian yang terjadi di rumahnya. Tapi, dia begitu terlena ketika berada di hiruk pikuk jalanan di siang hari. Dia bebas, ketika tidak ada yang mengenalinya.
Seperti siang ini, dia kembali dengan hal-hal yang tidak pernah dilakukan perempuan pada umumnya. Mengobrol dan bersanda gurau dengan beberapa bapak yang tengah sibuk mengipasi wajahnya, menyerah dengan panasnya udara siang ini. “alin kenapa jam segini sudah maen nongkrong aja di pangkalan. Kenapa tidak ke kampus?” laki-laki dengan tubuh pendek, hanya sebatas pundak sang perempuan itu bertanya dengan mulut tersumpal gorengan yang sudah lembek, Mang Ni. Entah sejak kapan panggilan alin melekat pada diri perempuan itu, yang dia tahu alin adalah bentuk sederhana dari arlin– nama panggilan dia yang sebenarnya.
“Mang, sudah setengah jam yang lalu aku nunggu angkot untuk ke kampus. Tapi sampai detik ini belum juga nongol, malas untuk jalan kaki di siang hari seperti ini. Terlalu sombong untuk melawan panasnya matahari” lihatlah, perempuan itu tengah merajuk kepada Mang Ni, tidak menghiraukan beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya. Begitu nyaman, seakan dia sedang merajuk kepada ayahnya dan menyalahkan supir angkot yang tidak juga menampakan batang hidungnya.
“ya patutlah tidak ada angkot. Noh, pertigaan dekat kampus mu itu sedang ada demo menuntut penggusuran para PKL. Heran juga kenapa orang-orang yang berdasi dengan pakai peci nasional itu selalu saja ribut sama masyarakat bawah kaya Mamang ini. Padahal kan kita tidak pernah cari gara-gara sama mereka. ya udah gini aja, kamu naek becak Mamang tapi nanti cuma sampai pertigaan aja, terus kesananya kamu jalan kaki. Gimana?”
“malaslah Mang, biarkan hari ini aku bolos kuliah” berkata pelan seraya tersenyum polos, takut mendengar omelan Mang Ni yang akan mulai mengoceh tentang alin yang begitu bodoh membuang duit secara cuma-cuma. Selama mengenal Mang Ni, tidak ada satu hari pun lolos dari omelannya, apalagi jika sudah mengatakan dua kata tabu tersebut ‘bolos’, ‘malas’.
Laki-laki yang tidak pernah bisa menamatkan pendidikan dasarnya ini begitu kesal dengan tingkah laku para pelajar yang dengan seenak jidatnya bolos, menurutnya jika pendidikan itu gratis untuk siapapun maka dia tidak akan memusingkan anak-anak yang bolos sekolah. Tapi, permasalahannya di sini adalah untuk bisa sekolah itu harus bayar mahal. Lalu, kenapa tidak sekolah dengan benar saja setidaknya keringat orang tua tidak akan sia-sia. Kalau hobinya bolos sekolah, lebih baik ikut Mamang ngayuh becak wae. Itu kalimat pamungkas yang sering Ia lontarkan jika sudah kesal.
***
Rasa antusias kini tengah menyergap hati perempuan itu- alin, tidak sabar untuk menyambut hari ini. Pergi ke mana saja, menemui banyak orang, bercerita banyak hal, menanyakan kabar Mang Ni dan kawan-kawannya, mendengar nasehat tentang pentingnya pendidikan dari Mamang. Ah… sungguh dia tidak sabar hanya untuk menunggu beberapa jam lagi.
Paginya masih sama dengan enam tahun yang lalu, hanya Ia lalui dengan dua orang penghuni lain di rumah luas dengan sedikit nuansa adat jawa di bagian depan dan ruang keluarganya. Ibu yang selalu menyediakan sarapan, tidak peduli seberapa sibuk kedua anaknya, tak jarang pula masakannya tidak tersentuh. Dan, kakak perempuan yang setiap harinya di sibukan dengan lemburan kerja, walau dia sudah bersuami tapi tidak ada niatan sedikitpun untuk mengurangi jam kerjanya.
“kapan suami mu pulang tin?” ibu bertanya dengan masih mondar-mandir menyiapkan sarapan. entah angin apa yang tengah berhembus saat ini, meja makan itu berfungsi dengan baik. Ada sang kakak- Kartini dan alin, walau masih dengan kesibukannya bersama dengan makalah-makalah yang hampir memenuhi meja makan berukuran kecil tersebut.
“minggu depan katanya, kemarin malam baru saja dia nelpon. Kenapa memang bu?” Kartini atau orang-orang memanggil dia dengan Tini. Bukan, dia lahir bukan pada hari kartini. Tapi, ibunya begitu mengagumi pahlawan wanita itu, berharap anaknya akan menjadi wanita kuat dengan kecerdasannya. Siapa yang mengenalnya, pasti doa dalam nama itu terkabul. Tini tumbuh dengan pemikiran yang sangat berlawanan dengan perempuan seusianya. Ketika perempuan lain memutuskan untuk menggantungkan hidupnya kepada suami, tapi dia memilih bekerja.
Masa mudanya tidak dihabiskan dengan urusan perasaan, baginya jatuh cinta itu cukup sekali. Dan massa itu akan datang pada saat yang tepat, ketika bertemu dengan laki-laki yang kini telah menjadi suaminya. Selagi sang suami masih mengijinkannya untuk menghasilkan uang maka dia akan terus melakukan itu. Baginya, apa yang dikatakan oleh suaminya adalah sebuah titah raja yang harus ia patuhi secepatnya.
“tidak ada apa-apa, hanya saja biasanya suami mu pulang sebulan sekali, tapi sekarang hampir dua bulan. Ibu hanya merasa aneh saja. Oh ya, besok Ibu akan ke rumah sakit menjenguk tante kalian. Dia baru saja melahirkan kemarin malam. Kalian berdua ikut, temani ibu” ketakutan akan penolakan dari kedua anaknya tidak bisa disembunyikan manik matanya, untuk sekali ini dia berharap waktu libur besok dihabiskan dengan kedua anaknya, semoga.
“siap bu, toh besok aku libur kerja. Kita akan temani ibu”
“aku tidak bisa, besok sudah ada janji” suaranya begitu pelan dan ragu, untuk kesekian kalinya hatinya diselimuti ketakutan akan melukai perasaan ibunya. Tapi sungguh, alin tidak bisa jika harus terjebak situasi yang akan membuat dia kembali menahan emosi ketika sampai di rumah sakit nanti.
“ya sudah, biar Tini saja yang temani Ibu. Kalau urusannya sudah selesai, cepat pulang. Kakak dan Ibu kemungkinan akan pulang malam. Jangan banyak keluyuran di luar”
Cepatlah berlalu pagi ini, agar perempuan itu tidak lagi menahan kesedihan, kecemburuan yang tidak mendasar lagi. Biarkan siang menyambut dia dengan kebahagiaan, biarkan panas siang melenyapkan kesedihannya. Siang ini biarkan perempuan itu kembali melebur dengan rutinitasnya. Hanya siang yang dia tunggu-tunggu setiap harinya.
***
Alin berbohong denga urusannya, bohong dengan janji yang dia katakan kemarin pagi. Dia kembali berbohong hanya untuk melarikan diri dari situasi yang tidak dia inginkan. Pada akhirnya, siang ini dia habiskan dengan kembali berkelu kesah dengan Mang Ni di pangkalan becaknya. Melarang laki-laki tengah baya itu untuk menarik becak, “aku sewa mamang untuk siang ini saja boleh ya? Jangan narik lagi, nanti aku bayar setengah penghasilan mamang hari ini asal dengerin curhatan aku” begitu katanya. Sedangkan Mang Ni, kini hanya diam melongo mendengar rengekan perempuan itu. Kenapa ada perempuan aneh seperti dia, menyewa orang hanya untuk mendengar curhatannya.
“istri Mamang akan marah jika pulang tidak membawa uang dengan jumlah seperti biasanya. Istri Mamang itu adalah akuntan terbaik, satu sen pun tidak akan luput dari hitungan dia. Mamang tidak mau cari sial kena omelan istri, kalau kamu mau cerita nanti saja setelah mamang narik” wajah Mamang tergambar jelas raut ketakutan ketika membayangkan istrinya. Pasalnya, Mamang pun diharuskan setor berapa banyak penumpang setiap harinya.
“hari ini aku dilarang pulang malam, sore ini aku harus sudah ada di rumah. Kak Tini dan Ibu sedang jenguk Tante di rumah sakit, jadi hari ini rumah kosong. Makanya, siang ini aja aku bisa bebas.”
“baiklah, baiklah. Tapi janji kamu akan bayar setengah penghasilan mamang hari ini?” ada nada sangsi dalam pernyataan Mamang kali ini, pasalnya dia tahu seberapa cerdiknya perempuan muda yang kini tengah memohon padanya ini. Kepandaiannya dalam mengelabui orang adalah bakat alaminya, dan Mamang adalah orang yang menduduki posisi pertama yang selalu menjadi korban,
“akan ku ingat-ingat janji itu Mang” tawa Alin pecah ketika mengatakan hal itu, ternyata Mamang sudah ambil kuda-kuda jika pada akhirnya dia harus kena tipu lagi.
***
Waktu begitu cepat berlalu, mengecewakan Alin yang masih asyik berceloteh dengan Mamangnya. Semburat warna jingga di ufuk barat mengingatkan Alin untuk pulang ke rumah. Dia benci ketika harus bertemu dengan sore.
“belajarlah untuk membuka hatimu, jangan salahkan mereka terlalu banyak. Ibu, Kakak, dan sanak saudaramu hanya orang yang tidak pandai bagaimana memperlakukan kamu, tapi yang jelas mereka adalah orang yang menyayangimu sama seperti mendiang Ayahmu. Jangan lagi membenci rumah, sebab hanya tempat itu yang paling aman” kebijaksanaan di dapat bukan dari bangku sekolah, lihatlah Mamang menasehati Alin dengan segala sikap keras kepalanya. Mamang boleh saja tidak tamat SD tapi dia tetaplah makhluk sosial, dimana kebijaksanaan seseorang akan tumbuh seiring dengan pengalaman hidup yang dilalui.
“meraka sayang padaku, tapi tidak pernah mempercayaiku. Aku hanya dianggap sebagai anak ingusan yang tidak berhak ikut campur urusan keluarga. Mereka sebut aku keluarga tapi tidak pernah sedikitpun menghargai apa pendapatku. Ketika aku berumur 40 tahun pun, mereka akan menganggap ku sebagai anak kecil. Aku seperti orang yang diasingkan di keluargaku sendiri. mereka menganggap remeh diriku”
“lalu sejauh ini kenapa masih saja bertahan dengan keadaan yang sangat kamu benci ini?” bercerita di pangkalan becak bukan hal yang mudah, sebab selalu saja ada gangguan. Seperti sekarang, ketika Mamang bertanya sembari melayani tukang becak yang tengah menukar uang kepadanya.
“karena Ibu. Aku terluka terlalu banyak dengan mengecewakan dia selama ini. Aku berdosa kepada Ayahku, karena mengecewakan wanita yang dia sayangi” Alin kembali menerawang dua orang yang telah menghadirkan dirinya di muka bumi ini, sehingga saat ini dia mengenal Mamang yang begitu disayanginya. Mamang layaknya replika sang Ayah yang enam tahun lalu telah tiada.
“pertahankan alasan itu. Maafkan mereka, jika perlakuan mereka selama ini membuatmu marah. Tapi kamu tidak bisa pulang ke rumah orang lain, sebab kamu punya rumah sendiri. belajar mencintai rumah mu, jangan lagi membencinya. Di rumah itu kamu dilahirkan, ada Ibu dan mendiang Ayahmu di sana” terkadang Alin bingung, bagaimana sosok baik hati dan begitu bijaksana seperti Mamang bisa berjodoh dengan perempuan yang cerewet dan tak terkadang akan marah-marah ketika kondisi keuangan menipis. Dan anehnya, sejauh ini Mamang tidak pernah merasa kesal dengan istrinya. Menurut Mamang, rahasia kebahagiaan dalam berkeluarga tidak bisa di analisis oleh orang awam semacam Alin. Cara untuk mendapatkan kebahagiaan itu berbeda-beda, begitupun dengan Mamang dan Istrinya.
Keyakinan Mamang kini telah merasuk dalam dada Alin, air mata kini mengiringi penyesalan dirinya akan sikap yang selama ini ditunjukan kepada Ibunya. Bukan perkara mudah untuk mengembalikan keadaan ini, tapi dia akan mencoba untuk memulai dari Ibunya. Biarkan Alin mendapatken kebahagiaan keluarganya dengan caranya sendiri. Semoga setelah ini, tidak ada lagi Alin yang tidak menyukai suasana pagi, dan membenci sore hari. Semoga setelah ini, akan tetap ada Alin yang mencintai siang.
Kirimkan cerpenmu http://zqyuwhiteblog.blogspot.com/p/kirim-cerpen.html
ReplyDeleteThe 8 Best Hotels Near Casino, Atlantic City (NJ) - Mapyro
ReplyDeleteTop 10 경상북도 출장안마 Hotels Near Casino, 김해 출장샵 Atlantic City 서산 출장마사지 · 1. The Venetian · 충청북도 출장마사지 2. Mlife Casino · 3. Harrah's Resort Atlantic 동해 출장샵 City · 4. Caesars Atlantic City · 5. Grand